Selasa, 23 September 2014

RESENSI NOVEL: KAPAL VAN DER WIJCK DAN SEBUAH LUKA



Cinta memang tak bisa selalu memiliki, cinta juga tak bisa selalu dekat dan bersama. Tapi bisa selalu bermesra dan berdua dengan yang dicinta adalah indah adanya. Namun tak semua yang kita ingini bisa menjadi nyata dan terwujud sempurna. Baik saja berharap seperti itu, menabur asa segala rupa ingin ini dan itu, mau ini dan menolak yang itu. Tak ada yang melarang dan tak ada pula yang memaksa, hanya kadang terbatasnya nalar manusia membuat semua asa dan maunya selalu ingin dituruti, padahal tak semua inginnya sesuai dengan kebutuhan. 

Ego manusia terlalu besar, untuk itu sampai Allah pun bilang jihad terbesar adalah melawan nafsu diri sendiri. Sampai-sampai saat yang diharap dan dipuja sudah berada di depan mata pun ditolak mentah karena ego diri yang sudah bercampur luka, kecewa, dan dendam. Ini adalah sedikit gambaran kisah cinta antara Engku Zainudin dan Hayati dalam “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” sebuah novel sastra karya Buya Hamka 

Rasa cinta yang mengakar kuat di hati engku Zainudin, seorang pemuda biasa yang tak berharta pada Hayati perempuan desa keturunan bangsawan Minang. Saling berjanji dan berharap bisa hidup bersama, merajut keluarga penuh suka cita. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba Hayati terpaksa memilih laki-laki lain dengan alasan harta dan tahta, yang tak dimiliki oleh Engku Zainudin. Sampai lalu, Engku Zainudin kecewa dan terluka luar biasa. Sakit berbulan-bulan menderita fisik dan batin, merana sendiri, tak ada yang peduli dan memutuskan pergi dari kampung halamannya untuk merantau dan melupakan Hayati. 

Bertekad dan terus bekerja keras bahwa akan ada perubahan jika terus bergerak, harta yang tak dimilikinya dulu kini perlahan datang dan melingkupi hidupnya. Rasa kecewa akan cintanya dan luka akan penghianatan janji yang dicintainya membuat lecutan besar dalam diri Engku Zainudin untuk terus menghasilkan karya. Dan ternyata karyanya ini laku di pasaran. Banyak peminat kisah-kisah nyata dan khayalannya, mungkin pembacanya merasa senasib atau kasihan semata, yang jelas ini membuatnya kaya raya penuh harta.  Sampai terpandang dirinya kini, tak lagi dianggap remeh temeh karena tak kaya. 

Tak ada yang tahu misteri hidup manusia di masa depan. Hayati yang berharap bisa bahagia bersama suaminya justru malah hidup menderita. Hutang menumpuk sana-sini, membuat suami Hayati memutuskan menulis wasiat sebelum mati bunuh diri. Wasiat yang berisi menyerahkan Hayati pada cinta pertamanya, namun sayangnya Engku Zainudin sang pujangga ini justru menolak Hayati yang telah disodorkan suaminya sendiri. 

Padahal Hayati telah mengiba meminta maaf ribuan kali pada sang pujangga, atas khilaf dirinya di masa lalu, berharap bisa diterima kembali. Hayati menyesal sekali, akan pilihan hidupnya yang dulu. Jikalau  ia tahu masa depannya akan seperti ini, maka ia tidak akan memilih hidup dengan harta kaya. Tapi memilih setia bersama sang pujanga walau tak ada harta tapi berlimpah cinta di dalamnya.

Namun nasi telah menjadi bubur, sang pujangga masih sakit hatinya. Bekas lukanya belum kering, karena pisaunya menusuk terlalu dalam. Sampai ia sendiri pun tak tahu kapan sembuh luka hatinya. Dan akhirnya Hayati malah diacuhkannya, tak dipedulikan walau salah telah diakuinya. Tapi Hayati juga tahu, salahnya pada sang pujangga terlalu besar maka wajar saja jika gayung tak bersambut merdu. Maka ia pun memutuskan mundur  dan tak lagi berharap pada cinta pertamanya yang dulu. Hayati memilih naik kapal untuk kembali ke kampung halaman, mencari bahagianya yang hilang dan mengubur rasa sesalnya atas peristiwa yang dulu. 

Sayangnya kapal Van der Wijck yang ditumpangi Hayati tenggelam, banyak korban di sana. Sang pujangga yang mendengar kabar ini pun kalang kabut, seperti diburu nafsu ia mengebut kemudi untuk bisa bertemu Hayati. Berharap Hayati bisa selamat lalu hidup setia dengannya. Tapi fakta yang ada Hayati sekarta tak lagi bisa bernafas sempurna, banyak luka di badannya. Bahkan untuk membuka mata saja sulit. Sang pujangga menuntun dan menguatkannya untuk bisa mengucapkan kalimat syahadat di akhir hidupnya. Tak lama bibirnya mengucap syahadat, nafas itu pun hilang dan raganya tak lagi bernyawa. 

Hayati berpulang, sang pujangga menyesali segalanya. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, akan takdir maut yang dicintainya. Lalu sang pujangga ini memilih mengenang cintanya pada Hayati dengan caranya sendiri. Ia ingin membahagiakan Hayati yang telah berbeda dunia dengannya kini dengan cara berbagi. Mengubah rumah istananya untuk dibuat panti, buat mereka para anak-anak yatim dan anak-anak tak beruntung yang ditelantari oleh orang tua sendiri. 

Tak ada yang perlu disesali atas cinta yang tak bisa kau miliki, biar saja itu pergi, walau sakit harus terlewati agar berlalu. Tapi tunggu, janganlah kau meragu, yakin saja dulu akan ada masa dimana waktu akan membuatmu tahu. Bahwa cinta yang tak bisa kau miliki adalah tanda dari Sang Maha Tahu kalau itu bukanlah jalan untukmu. Maka jangan kau paksa lewat situ, karena banyak batu bukan cuma satu tapi beribu-ribu. Sampai akhirnya barulah kau tercenung sadar dan membisu, bahwa aturan dariNya untuk mahluk yang telah diciptakanNya adalah bukan sunnah tapi Fardhu.  

Tidak ada komentar: