Jumat, 12 September 2014

NO BODY PERFECT





Ada yang merasa paling tahu tentang sesuatu, padahal tak sadar dia sedang keliru. Mungkin salah guru atau salah meniru. Ahh, kadang ego manusia menjadikan kepala besar tanpa sadar, kadang nafsu manusia menjadikan sombong tumbuh sempurna, kadang ilmu yang dipunya pun membuat manusia merasa cerdas dan intelek sendiri. Namun faktanya, ia berada dalam gelap. Bukan tak ada lampu disana, tapi tak ada cahaya hakiki di dalamnya. 


Lalu sungguhkah pendapat kita itu paling benar? Dan kita bisa mengeneralisir suatu hal itu sendiri? Tanpa ada konfirmasi dan bukti? Hmm, sayangnya tak selamanya orang bodoh pasti miskin, dan tak semuanya orang miskin pasti bodoh. Ada perubahan yang terus bergerak selama ada usaha, ada budaya yang berbeda dan dibentuk dari setiap keluarga.


Tak akan bisa disimpulkan dan disamaratakan sejajar, bahwa hanya ada batu berwarna hitam pekat dan keras di dalam dasar sungai, karena faktanya terdapat batu berwarna cerah terang yang bisa menjadi perhiasan cantik bahkan serpihan emas turut hadir di dalamnya. Maka jangan terburu-buru menyimpulkan sesuatu merasa paling tahu, karena jika saja kau jeli dan mau berusaha untuk memahami lalu mengkonfirmasinya lebih dulu, akan ada perbedaan pasti antara angka satu dan seribu.


Jadi No Body Perfect. Tentang semua hal dan tentang segalanya.  

WACANA SEMATA



Sudah banyak wacana yang dibuat ada, tapi hanya sedikit yang dibuat nyata.
Sudah banyak rencana yang disusun rapi, tapi hanya sedikit yang terealisasi.
Sudah banyak mimpi yang tertulis indah, tapi hanya sedikit yang terwujud sempurna.

Pernahkah kau membuat wacana? Bahkan ternyata seorang professor pun sering membuat wacana. Dalam ratusan buku dan karya tulis terbaiknya. Dalam makalah dan jurnal ilmiahnya dan ternyata semua kumpulan wacana. Hasil dari ribuan ide-ide segar yang mengelilingi kepalanya, hasil dari tumpahan pemikiran setelah ia membaca puluhan buku, hasil dari kegelisahan akan ketidakberesan, hasil dari keterpanggilan hati dari kekacauan yang ada di depan mata. Lalu muncullah karya besar bernama WACANA.

Ilmiah? Tentu saja, tak main-main dibuat. Ribuan referensi dibaca, ratusan catatan kaki dikutip, puluhan teori dipakai, konsultasi sana-sini, bahkan jutaan uang yang dipakai untuk sebuah karya ilmiah. Lalu realisasinya? Hmm, jangan ditanya apalagi dianggap main-mainan belaka bahkan jangan disepelekan. Ini tak sembarang dan bukan hal sepele. Realisasi tentu ada dan akan terus ada, karena setiap tahunnya mahasiswa akan terus ada, walau setiap tahunnya juga ribuan yang diwisuda. Ratusan mahasiswa dan mahasiswi ini akan memakai karyanya, sebagai referensi tugas-tugas kuliahnya. Ratusan mahasiswa dan mahasiswi juga akan menggunakan karyanya sebagai acuan dalam presentasi dan berdiskusi. 

Bergulir begitu dari satu generasi ke generasi berikutnya. Maka jangan kau anggap wacana ini tak terealisasi dengan baik, karena karya ini menjadi referensi walau tak mengerti pasti, setidaknya bisa menjadi tambahan daftar pustaka.
Semua karya adalah kumpulan wacana, baik yang muncul dari hobi, kegelisahan diri, keterpanggilan jiwa, kecerdasan hati dan juga kehebatan otaknya berpikir. Apakah itu terealisasi di masyarakat? Perkara mudah jawabnya, tak ada yang sia-sia. Bahkan sampah saja bisa menjadikan seseorang kaya  di kampungnya. Terlebih sebuah karya dengan banyak wacana tentang idealnya sebuah Negara atau baiknya mengurus rumah tangga.

Bukan sembarang wacana itu digulirkan menjadi sebuah karya, butuh peluh keringat dan darah menjadikannya nyata. Bahkan kumpulan buku, jurnal, skripsi, tesis, disertasi dan selembar bulletin pun tak akan bisa tercetak, jika tak ada niat sepenuh hati dan usaha sekuat tenaga untuk bisa menyelesaikannya. 

Jangan sepelekan sebuah karya yang berbicara tentang wacana ini dan itu, walau itu menumpuk penuh debu di lemari, terikat bersama tali rapia, tersusun tak teratur, dan telah lapuk termakan usia. Karena tak ada wacana semata, wacana ini hadir tak sekedar mampir, ia lahir dari mimpi dan ide besar. Mereka yang mengerti dan memahami pentingnya perubahan. Jika wacana ini tak bisa dipakai hari ini, bulan ini, tahun ini maka akan masih ada harapan dan kemungkinan abad nanti bisa terealisasi.  Jikalau kumpulan wacana-wacana ini terasa hanya seperti kelebat angin sepoi yang tak bisa menggugurkan daun di pohon, maka setidaknya tiupan angin sepoi ini telah mampu membuat seseorang tersenyum karena tersapu lembutnya angin yang menyapanya.