Minggu, 27 April 2014

Berpikir

Aku tak ingin merasa pintar apalagi merasa cerdas sendiri, aku pun tak pandai terlebih jenius, otakku pun tak cemerlang sampai gemilang, aku biasa saja sama seperti yang lain, kebanyakan orang.

Hanya saja aku berusaha dan mencoba mengerti apa yang aku lihat, mencoba memahami apa yang aku dengar, mencoba menelaah apa yang aku rasakan. 

Aku mencoba untuk berpikir atas setiap apapun yang aku lihat, aku dengar dan aku rasakan. Berpikir dengan otak dan nurani. Agar baik dan beraturan, tak berantakan, tak berhamburan. Tak ingin menjadi liar, sampai tak peduli dan peka pada sekitar, karena merasa hebat atas logika yang menggurui.

Jumat, 25 April 2014

Misteri Masa Tua


Seperti Apa Masa Tuamu Kelak?

Duduk di kursi roda termangu di teras rumah, atau tinggal bersama kaum Lansia di panti jompo, atau berkeliling berjualan pisang mendorong gerobak, atau menjadi tunawisma luntang-lantung di emperan jalanan, atau mengurus cucu yang dititip karena kesibukan kerja orangtuanya, atau duduk di pinggir jalan mengiba diri berharap receh, atau bolak-balik rumah sakit karena sakit yang di derita yang tak kunjung hilang malah justru bertambah satu, atau menjadi pikun mondar-mandir sering menceracau tak jelas, buang air sembarangan, atau tak ingat lagi nama-nama anak.


Pada akhirnya semua manusia yang telah remaja lalu dewasa akan melewati masa tua. Walau tak semua manusia bisa melewati fase ini, karena faktanya ada beberapa manusia yang digariskan mati muda. Jadi beruntunglah yang bisa diberi umur panjang, karena diberi waktu lebih banyak untuk hidup. Manusia yang diberi waktu lebih panjang ini tentu akan melewati masa tuanya.

Apakah hidup bersama anak-anaknya yang dulu pernah dirawatnya, atau diungsikan anaknya ke panti jompo karena anak-anaknya sibuk bekerja atau ke luar negeri, atau menjadi tunawisma di emperan jalan berharap kasihan. Atau justru kelak hanya akan menjadi penduduk baru di tanah lapang bernisan kayu dan batu, terbaring kaku di dalam tanah. Dengan senyum penuh ketenangan menuju keabadian atau wajah sendu kaku seperti ada sesal yang belum dilakukan.

Ada celoteh yang mengatakan, "Anak mengurus satu orang tua rasanya sulit sekali, tapi dahulu orang tua mengurus tujuh anaknya kok ya bisa?".

“Wahai manusia! Jika kamu meragukan (hari) kebangkitan, maka sesungguhnya kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar kami jelaskan kepada kamu; dan Kami tetapkan dalam rahim, menurut kehendak kami sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi, Kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada usia dewasa, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun), sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah kami turunkan air hujan di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan tetumbuhan yang indah”. (Q.S. Al-Hajj: 5)

Al-Qur’an Surat An Nahl’ ayat 70  (yang artinya) : "Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu; dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa"

Al-Qur’an Surat Al-Isra’ ayat 23 (yang artinya): “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia (berbuat syirik) dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. ”

FIKSI: CERITA PENDEK



Rahasia  Jodoh

Cantik, pintar dan yang paling penting berjilbab…
Kata-kata itu terus terngiang dalam otakku, pikiranku melayang bebas mencari apa aku punya teman yang seperti dia maksud itu? Tiba-tiba, suara Alif mengagetkan lamunanku.
 “Maaf, membuat lama menunggu…”
Alif menarik bangku di depanku dan tanpa basa-basi dengan wajah penuh ceria. Ia langsung bercerita tentang cita-citanya untuk bisa menikah dengan perempuan berjilbab sesuai permintaan almarhumah ibunya yang meninggal sekitar satu  tahun yang lalu.
“Nin, gimana apa kamu sudah menemukan perempuan seperti yang aku maksud?”
Aku segera menghentikan menyeruput jus alpukat saat Alif kembali menanyakan perkembangan pencarian jodoh untuknya itu.
“Belum, masih hunting. Nanti kalau aku sudah klop pasti dikabari secepatnya! Gak sabaran banget sih, kayanya…”
Bibirnya kembali tersenyum saat kuledek, masalah yang sangat ironis. Aku  dipaksanya mencarikan jodoh untuknya sedangkan aku saja belum punya pasangan. Tapi demi persahabatan yang telah lama terjalin sejak di bangku kuliah. Aku rela saja dimintakan tolong mencarikannya perempuan berjilbab seperti yang ia maksud.
“Tapi, ngomong-ngomong aku jadi tak enak Nin. Minta tolong kamu sedangkan kamu saja belum menikah. Bagaimana kalau aku kenalkan dengan teman sekantorku?” tawar Alif semangat
Segera saja aku menggeleng tak selera.
“Terima kasih Lif, aku bisa cari sendiri…”
 Melihat responku yang berubah ill feel, Alif terlihat tak enak hati. Ia pun kembali mengalihkan pembicaraan ke topik awal. Gaya bicaranya begitu semangat, ditambah humor-humor segarnya yang membuatku tak bosan mendengarkan cita-cita terpendam almarhumah ibunda tercintanya itu.
“Sebulan sebelum ibu meninggal, malam-malam ibu menelphonku. Katanya, calon perempuan berjilbab yang hendak ibu jodohkan untukku telah dilamar orang lain. Sontak saja, aku tersenyum lega karena beban itu hilang. Namun, beberapa detik kemudian, suara ibu terdengar parau seperti menahan tangis…”
“Ibu mau kamu menikah sebelum ibu pergi selamanya…”
“Setelah itu Ibu mematikan telephonnya. Aku pun menjadi tak bisa tidur setelah menerima telephon dari ibu. Sebelum ibu benar-benar pergi desakannya kepadaku untuk segera menikah aku anggap seperti angin lewat saja. Aku masih ingin bersenang-senang dengan kebebasan. Aku tak mau diatur istri dan suara rewel anak kecil. Namun, sejak Allah memanggilnya keinginan itu menjadi beban berat yang harus segara aku penuhi. Aku tak mau membuatnya tak tenang, aku ingin membuatnya tersenyum melihatku bisa segera menikah dan memberinya cucu…”
Tak terasa malam sudah larut, sebenarnya mata ini sudah sangat mengantuk. Namun, entah kenapa aku begitu asyik mendengar curahan hatinya? Hingga, tak sadar sudah hampir satu jam lebih kita mengobrol. Mungkin, karena memang sudah tiga tahun belakangan ini kami loss contact karena ia tinggal jauh di luar kota dan suatu kebetulan saat aku sedang berbelanja buku ternyata ia pun melakukan hal yang sama juga. Jadilah, ini menjadi reuni untuk kami.   
***

Nin, maaf sms pagi-pagi gini. Setelah mengobrol semalam. Aku terus berpikir untuk bisa menerima kriteria calon pasanganku apa adanya. Perempuan itu tak perlu cantik fisik asalkan baik agamanya bagiku itu sudah cukup

Sms Alif menyambut pagiku hari ini, baru saja kubuka mata otakku langsung berputar berpikir mencari perempuan seperti yang dia maksud. Saat sedang berpikir, tiba-tiba Kiara adikku mengetuk pintu membangunkan shalat subuh.
“Ka, bangun! Sudah subuh…”
Aku segera beranjak dari tempat tidur dan membuka pintu, agar Kiar berhenti berteriak membangunkanku.
“Iya, cerewet…”
Bibir Kiara menyunggingkan senyum saat melihatku dengan mata sepet dan rambut berantakan masih bisa meledeknya yang sudah rapih dengan mukena putih bersulam bunga warna-warni.
“Aku, tunggu di bawah ya Ka!”
Setelah pulang empat bulan yang lalu dari Bandung, ia menjadi sosok berbeda bagiku. Perubahannya sungguh sangat drastis dengan kerudung yang tak pernah lepas dari kepalanya.  Aku segera berwudhu dan menuju ruang musalah yang di sana Ayah dan Ibu sudah bangun lebih dulu. Suara salawat sambil menunggu adzan subuh menjadi kegiatan rutin keluarga dan Kiara dengan kebiasaan barunya itu mendesakku untuk turut serta walau sempat kesal pada awalnya, tapi lama-kelamaan asik juga karena aku jadi tak pernah telat masuk kantor. Walau aku belum bisa seperti Kiara seutuhnya, tapi aku perlahan mau mencobanya. Hidup kan butuh proses.
“Gimana Nin, apa kamu sudah punya calon?”
Ibu membuka obrolan pagi ini dengan hal yang paling aku tidak suka di meja makan. Dan aku pun segera mengalihkan pembicaraan.
“Ra, kamu jadi mau ke Bandung?”
Kiara senyam-senyum sendiri melihat tingkah serba salahku menanggapi pertanyaan Ibu.
“Jadi Ka, mungkin dua sampai tiga bulan aku di sana”
“Lama banget, ngapain saja?”
“Ya, bantu-bantu di LSM sekalian juga ada urusan untuk daftar kuliah S2…”
“Bagus itu, sebenarnya Kaka juga mau daftar nerusin sekolah. Tapi sudah keenakan kerja jadi males mikirin tugasnya…”
“Mikir tugas apa mikir calon suami?” sindir Ibu
Segera saja aku memasang wajah jutek dan semua yang ada di meja makan terlihat tersenyum meledek.

***

“Nin, ada cowok yang cariin kamu di bawah”
Tari menaikkan bahunya saat aku menanyakan siapa yang datang mencariku di jam makan siang seperti ini. Terlebih banyak kerjaan menumpuk yang harus dikerjakan membuatku dikejar death line dan tanggung jawab yang berat ini harus bisa diselesaikan sebelum atasan menegur.
Untuk mempercepat waktu, aku putuskan turun tangga saja kebetulan gedung perkantoranku hanya bertingkat lima jadi tak terlalu buang energi. Sosok laki-laki berkemeja putih bergaris biru dan dasi biru yang membalut tubuh tinggi tegapnya berdiri di depan meja receptionist. Nampak, seperti eksekutif muda. Tak ada kekurangan jika dilihat sekilas, namun dibalik itu semua ada beban yang belum bisa terselesaikan. Senyum lebar dilemparkannya saat melihatku sedang menuruni tangga.
“Maaf  Nin kalau ganggu…”
“Gak apa-apa. Ada yang bisa dibantu?”
 “Banyak, gak enak kalau ngomong di sini. Kamu sudah makan siang?”
Aku menggeleng dan wajah putih bersihnya itu kembali tersenyum. Segera saja ia mengajakku ke restoran dekat kantor yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Untuk sedikit refresing aku menurut saja. Mumpung gratisan…
Alif memesan ayam bakar dengan orange juice dan kebetulan selera kami sama.
“Gimana, Nin dah ada calonnya?”
“Emm, sebenarnya kriteria cewek yang kamu maksud itu, ada sama teman kantorku”
“Terus?”
“Ya, dia baik, ramah, pinter dan yang paling penting dia berjilbab tapi sayang…”
Belum sempat aku meneruskan pembicaraan, Alif sudah memotong lebih dulu. “Lalu, kenapa dari tadi kamu gak bilang? Kan biar aku langsung bisa ketemuan sama dia…” Raut wajah Alif sangat bersemangat mendengar penuturanku
Aku cuma senyam-senyum sendiri melihat raut bahagia Alif
“Malah ketawa… senang ya? Kalau temannya jadi perjaka tua”
“Bukan gitu Lif, aku kan belum meneruskan omonganku. Kamu maen nyerobot aja”
“Ya, habis kamu terlalu santai. Kita harus bergerak cepat kalau untuk masalah seperti ini”
“Ngomong-ngomong, namanya siapa Nin?”
“Dinda”
“Nama yang manis”
“Apa aku telphon dia aja ya? Ah, kesannya terlalu main-main, aku kan mau serius jadi langsung to the point aja,  face to face…” ucapnya dengan raut wajah penuh kebahagiaan dan semangat  45nya
Aku semakin geli tapi juga kagum melihat tingkah Alif yang semangat menikahnya telah berkobar-kobar laksana prajurit mau siap tempur. Ditambah muka cutenya tiba-tiba menghilang dan berubah jadi muka seorang sales yang merengek agar dagangannya dibeli karena sudah seminggu gak laku-laku
“Alif… Alif, aku kan belum nerusin omonganku. Kamu malah udah nyusun rencana  duluan”
“Kenapa? Bukannya malah bagus…”
“Iya, tapi Dinda temanku itu sudah menikah dan punya anak dua”
Sungguh, aku jadi tak enak hati melihat perubahan drastis wajah Alif, kini berubah lesu tak bergairah. Tatapan matanya terlihat kosong.
“Lif, sabar! Cari jodoh kan gak semudah beli sayuran di pasar. Mesti selektif”
Alif diam tak merespon ucapanku. Matanya menerawang lalu menunduk. Tangannya mengepal keras, guratan urat tangannya terlihat jelas. Apa dia marah? Sungguh aku tak bermaksud bercanda.
“Kamu tahu Nin, aku minta tolong dicarikan perempuan berjilbab untuk jadi istriku. Bukan sama kamu aja. Semua teman kantor, kuliah sudah aku hubungi dan aku mintakan tolong. Tapi, apa hasilnya nihil. Aku sering melakukan perkenalan, temanku bilang ta’aruf. Tapi, mereka kebanyakan menolak dengan alasan karena aku tak pandai dalam masalah agama, shalatku jarang, bahkan doa untuk orang tua saja aku tidak hafal. Justru, aku ingin dibimbing oleh istriku kelak, diajarkan mengaji, shalat…”
 “Selalu seperti itu, aku sengaja berkata jujur dan tidak menyembunyikan kekuranganku itu agar tidak ada penyesalan nantinya. Apa harus aku bohong atas kelemahanku ini?”
“Sungguh Nin, aku ingin bisa menjadi manusia yang lebih baik, memang penyesalan itu datangnya terakhir. Dulu, aku menganggap semua hal yang berbau agama itu kampungan dan norak. Tapi, semenjak Ibu meninggal aku baru sadar kalau ternyata dunia bukan segalanya yang harus dikejar. Aku sering melihat orang meninggal, namun perasaanku dulu biasa saja. Setelah Ibu, orang yang sangat kucintai meninggal perasaan itu berubah 180 derajat aku sangat terpukul. Ia menulis surat untukku, intinya ia ingin aku belajar agama dan menikah khususnya dengan perempuan berjilbab. Terakhir dalam suratnya, ia bilang menungguku di surga, Ibu memang perempuan yang sangat solehah makanya saat ia meninggal banyak sekali air mata dan doa yang mengiringi kepergiannya, saat itu hatiku hancur tak ada yang bisa aku lakukan selain menyesal dan menangis, aku tak bisa berdoa karena terlalu lama bibir ini terkunci. Aku tak bisa ikut menyolatkan karena badan ini telah kaku dan lupa akan semuanya”
Tak terasa air mataku menetes mendengarnya, wajahnya terlihat sangat serius dan lesu. Ia menunduk dan tak menatapku saat bicara hanya menunduk. Ucapannya tadi dari lubuk hati terdalamnya yang akhirnya menjadi ganjalan yang belum ditemukan titik temu.
            “Kenapa, kamu gak coba belajar agama dengan ustad?” usulku pelan
            “Sudah Nin, tapi karena sudah tua gini belajarnya ya seperti menulis di atas air”
            “Aku ingin diajarkan oleh istriku, kan kalau diajari sama orang yang disayangi bisa lebih semangat dan mudah masuknya. Kita bisa belajar sama-sama, indah banget ya Nin? Kalau bisa punya keluarga sakinah?”
            Aku mengaangguk dan tersenyum mendengar pertanyaannya. Mimpinya sama dengan semua orang dan salah satunya aku. Tapi, entah kenapa aku belum berniat menikah banyak hal yang ingin aku lakukan. Walau, kadang aku merasa tersindir.
            “Nin, Kadang, aku merasa pencarian jodoh ini terasa sia-sia dan ingin mengakhirinya saja. Tapi, aku ingin banget bisa memenuhi mimpi Ibu. Aku gak mau lagi membuat ibu kecewa. Ya, kalau jodoh kan gak lari kemana…”   
***
            “Ra, kamu mau gak nikah sama laki-laki yang pengetahuan agamanya lebih sedikit dari kamu  tapi dia mau belajar?”
            Kiara sedang mengetik di depan komputer saat aku masuk ke kamarnya. Lalu, tiduran di atas kasurnya yang sepreinya selalu tertata rapih dan bersih.
            “Siapa?” Kiara berhenti mengetik dan berpaling melihatku
            “Ada deh…”
            “Emm… gak tahu juga. Tapi, kalau bisa yang agamanya lebih bagus dari kita donk jadi dia bisa membimbing kita. Kan gak lucu kalau istri yang membimbing. Masa yang mau jadi imam shalat istrinya?!” Kiara tersenyum. Aku jadi ikutan senyum. Iya juga sih. Masa yang mau jadi  imam shalat istrinya…?!
            “Tapi Ra, laki-laki itu punya semangat belajar yang tinggi lho…”
            “Ya, bagus, dia bisa belajar agama dulu sama ustad. Nah, kalau sudah mantep baru deh nikah”
            “Tapi Ra” aku merubah posisi menjadi duduk bersila di pinggir kasur dan Kiara kembali menghentikan sejenak mengetiknya.
            “Kalau belajar sama istri, perempuan yang disayangi kan biasanya lebih mudah. Jadi, belajarnya pas nikah aja”
            “Itu juga gak salah. Tapi, alangkah lebih baiknya. Laki-laki itu harus lebih memantapkan dasar agamanya dulu supaya dia tahu cara membentuk keluarga sakinah, agar dia tahu tugas dan kewajibannya juga sebagai suami” 
“Masalah itu kan bisa sama-sama dimusyawarahkan kalau sudah nikah”
 “Biasanya, sebelum melangkah lebih jauh kita dan calon pasangan harus menyamakan visi dan prinsip dulu. Biar nanti, ke depannya gak kecewa dan lebih enak menjalaninya”
“Jadi, gitu selama ini alasan para perempuan berjilbab itu menolak lamarannya Cuma karena dia gak kuat pengetahuan agamanya. Padahal, sifat dan tingkah lakuya menurutku jauh lebih baik dari orang-orang yang pengetahuan agamanya lebih banyak dari pada dia. Menurutku itu gak adil, dia sudah berusaha. Tapi, gak bisa juga dia ditolak Cuma karena masalah itu. Kalau setiap perempuan berjilbab mengharapkan calon suami seperti itu kapan dia bisa menyebarkan kebaikan agamanya pada orang di luar dirinya. Seharusnya, dia bisa mengajak orang yang belum baik secara agamanya menjadi lebih baik dan mau menerima apa adanya. Kan sudah ada niat yang baik, tapi kenapa niat itu dipandang sebelah mata” aku sungguh berapi-api mengutarakan pendapat hingga Kiara menatap serius dan tak berbicara mengomentari.
“Laki-laki yang kaka maksud itu siapa?”
Aku diam saja tak menjawab pertanyaan Kiara. Aku masih kesal, kenapa kebanyakan muslimah berpikir seperti itu. Sempit sekali pemikirannya. Batinku kesal.
“Ka…” Kiara memegang tanganku dan duduk di sebelah
“Pendapat Kaka benar, gak ada yang salah. Kita gak berhak mengatakan orang itu salah dengan pemikirannya karena memang itu haknya. Jika, itu pilihan dan keputusannya kita mau apa dengan prinsip orang itu. Toh, hidup itu pilihan kan? Dan teman kaka maupun perempuan berjilbab itu juga gak ada yang salah. Namun, menjadi salah jika pernikahan yang sejatinya adalah untuk menyempurnakan agama kita dan ibadah itu dikotori dengan tidak adanya rasa keikhlasan dalam diri orang yang menjalani”.
***
Pagi-pagi hpku sudah berdering. Saat keluar dari kamar mandi mengambil wudhu untuk shalat subuh. Ada nomor pribadi yang terpampang dilayar hp.
“Assalamualaikum…” suara laki-laki yang terdengar asing di telingaku
“Walaikumsalam… siapa ya?” tanyaku penasaran
“Saya Andi, Nin”
“Andi?”
“Teman waktu di SMA dulu” logat bicaranya terdengar kental sekali dialek Jawanya
“Oh, Andi…”
Aku baru ingat, kalau aku punya teman Andi. Waktu itu, dia  ketahuan pakai jimat yang dikalungkan di lehernya saat ujian EBTA. Katanya, itu dari Mbahnya di kampung yang masih sangat kental budaya kejawennya.
“Nin, semalam aku mimpi dipatuk ular. Kata Mbahku itu berarti pertanda mau nikah. Semalamnya aku habis lihat-lihat album SMA. Terus kenapa tiba-tiba, pikiranku terpusat sama photo kamu ya? Aku juga gak tahu. Apa ini bisa diartikan kalau kita ini berjodoh ya Nin???”
Tiba-tiba, aku terasa tersengat listrik lima watt…     

*
Mei 16th 08

Senin, 14 April 2014

Cinta dan Airmata

Cinta dan airmata membuatmu tahu bahwa semua yang ada di dunia ialah semu
Cinta pada seseorang tak abadi ia kan terkikis bila ada yang lebih indah ia hilang tertiup keegoisan diri ia tergores oleh pengkhianatan ia terberai oleh kebohongan
Airmata yang menetes kan terhapus oleh waktu ia kan tergantikan oleh kebahagiaan ia kan terusap oleh ketegaran ia kan berubah oleh keikhlasan
Cinta dan airmata dua sisi yang kan kau temui dalam langkah
Dalam jalan hidup yang panjang
Selama nafas itu masih kau hirup bebas
Selama kau terus merasa haus dan lapar
Selama hidup
Selama kain putih itu belum menyelimutimu
Selama nyawa belum tercabut
Cinta dan airmata kan memberitahu padamu bahwa inilah hidup
Inilah peta hidup yang harus kau lalui
Inilah arti dan makna kualitas hidup

8 Januari 2009

Minggu, 13 April 2014

Tak Tersirat dari The Raid 2


Sebagai penikmat film romantika, pengagum drama percintaan yang mengharubiru penuh suka. Menonton film trailler menjadi pengalaman baru dan berbeda, alhasil saat mata disuguhi film The Raid 2 BERANDAL, komentar yang paling tepat adalah SERAM. 

Film ini lebih seram dibanding film Susana, kuntilanak, juga aneka pocong dan keronconya. Alhasil di beberapa part film, kain kudungku menjadi cadar mata karena tak sanggup melihat kesadisan dan kekerasan yang terjadi. Tak ketinggalan juga, untaian istigfhar sebagai respon kaget dari berbagai kejutan yang terjadi. Gimana nggak kaget, gimana nggak takut, gimana nggak ngeri karena di film ini NYAWA terlihat tak berarti. Senjata yang dipakai buat beradu jotos dan menghilangkan nyawa lawan bukan cuma aneka pistol, tapi ada juga golok, kater, martil, pisau, celurit bahkan stik bisbol lengkap dengan bolanya.

Film ini penuh ketegangan, ancaman, kejutan, dan kesadisan yang tak lagi canggung. Tapi sebenarnya keren sadisnya, kenapa keren? karena berbagai adegan film ini terasa nyata padahal kan nggak nyata ya, semuanya bohongan. Mulai dari Kematian yang dipertontonkan, tumpah darah yang tercecer, tembakan-tembakan maut, adu balap mobil yang sampai pemainnya kelindes truk adalah kebokisan belaka. Terus juga, ada gambaran tentang bisnis underground seperti produksi vcd porno oleh pribumi, perebutan lahan bisnis oleh para kapitalis Jepang, sampai lobi-lobi politik tingkat tinggi. 

Lalu, ada nggak sih pelajaran bin hikmah yang bisa diambil dari film yang satu ini. Atau Cuma kesadisan yang bisa kita bawa pulang. Atau juga pelajaran kekerasan? Bahwa semua hal haruslah diselesaikan dengan berantem dan yang berduitlah yang berkuasa, atau yang paling kuat bin jago silatlah yang bisa menang?  

Kalau mau ditelisik lebih dalam, film The Raid 2: Berandal ini membawa pelajaran yang tak tersirat. Tak bisa sepintas dilihat dengan mata, kacamata dan kaca pembesar. Apalagi kalau sampai ketiduran saat nonton film, ya alhasil cuma kesadisan yang bisa ditangkap setelah keluar dari bioskop. 

Pertama, EGO
Sejak adegan pertama film sampai berakhirnya film ini, ego adalah hal besar yang paling utama disuguhkan sutradara ke penonton. Mulai dari ego para bos besar dan keronconya yang saling beradu berebut kuasa. Merasa paling hebat, paling benar, paling keren, paling kuat, paling kuasa, paling disegani dan paling-paling lainnya. Sampai merasa orang di luar golongan dia, harus dimusnahkan karena menjadi ancaman. Tak ada kawan sejati disana, yang ada hanyalah ego diri semata untuk bisa menjadi besar, sampai tak bisa menyadari kekurangan diri sendiri. 

Kedua, EMOSI
Emosi akan menutupi kebenaran yang ada di depan mata, menjadi terlihat salah. Emosi jiwa akan sangat mendominasi terutama saat pikiran tak sejalan dan penolakan atas keinginan diri yang tak terpenuhi, amarah akan membuncah lalu berbalik arah menyerang lawan bahkan kawan dari belakang. Otak yang terlanjur emosi, tak lagi bisa berpikir sehat. Pikirannya hanya berisi berbagai trik culas untuk bisa menyerang lawan. Bagaimana bisa memperbesar diri, tak peduli harus menyakiti orang lain bahkan membuat mati pun terasa hanya tinggal menjentikkan jari.

Ketiga, NAFSU
Nafsu yang tidak dilandasi dengan nilai hakiki akan seperti banteng liar yang siap menyeruduk siapa saja yang menghalangi. Segala perbuatan dan tindak-tanduknya menjadi tak terkendali. Tingkah laku diri di luar nalar, logika apalagi simpati tak bermain di sana. Semua telah berkabut oleh nafsu diri, jiwanya terlanjur mengering dan gersang sampai tenang pun tak bisa dirasa lagi. 

Keempat, AMBISI
Ambisi yang tak dibarengi dengan empati menjadi buta. Hanya ada kegelapan di sana. Sampai kemudian ayah sendiri bisa dengan mudahnya ditembak mati oleh anak kandungnya, demi sebuah ambisi menjadi bos besar. Tak melulu menjadi boneka curut dari ayahnya si penguasa bisnis ibukota. Ambisinya menjadi liar, karena harapan digantung pada manusia, hingga saat goyah ia tak ada pegangan apalagi pijakan pada pemilik ruh dan raganya.  

Kelima, KEJUJURAN
Jujur dan benar bukan berarti terlihat bodoh. Menjadi manusia naïf di tengah-tengah mafia pencari untung bukan pilihan tepat. Tak sulit berlaku untuk tetap pada pilihan menjadi orang benar dan jujur, yang sulit adalah bagaimana seseorang bisa berpikir dan berbuat lebih hati-hati dalam bertindak di tengah orang-orang licik nan culas penikmat dosa dan pemuja materi.

Keenam, KEBAHAGIAAN
Tak ada bahagia yang disodorkan sutradara di film ini. Semua hanya tentang amarah, padahal materi yang banyak diimpikan orang berlimpah ruah di sana. Materi yang dianggap orang sebagai sumber utama kebahagiaan tak berlaku di film ini. Gelimpangan harta dunia yang berada di tangan tak bisa membuat bahagia, bahkan senyum yang menguntai pun hanya sandiwara semata. Apalagi tawa, bukan tawa bahagia dari hati yang diumbar, tapi tawa penuh teka-teki untuk bisa saling menjatuhkan.

Sila share jika menurut kalian masih ada yang lainnya...

Kamis, 10 April 2014

Garis Hidup



Hidup seperti misteri yang apabila tabirnya dibuka perlahan akan membuat banyak kejutan disana. Tak bisa diterka, apalagi kau tebak, karena rapat tertutup. Manusia menjalani takdirnya yang telah digariskan olehNya. Seperti drama panggung sandiwara dengan sutradara dan produser kondang dunia perfilman.

Tapi itulah hidup dengan segala misterinya sehingga kau pun tidak bisa dengan seenak hati bekerja. Karena tak akan ada yang tahu hasilnya, maka segala kemungkinan pun bisa saja terjadi. Manusia merencanakan, Dia yang menentukan. Manusia ingin ini, ingin itu, butuh ini, butuh itu tapi semua Dia yang memutuskan. 

Dari milyaran manusia di bumi,  mulai dari yang berdasi, berdaster, berduit, bergerobak, bermobil, berpangkat berambut  dan lain-lainnya. Semua sudah memiliki garis hidupnya masing-masing, akan seperti apa nanti, harus bagaimana kelak, kenapa begini, mengapa begitu, bagaimana bisa terjadi menjadi ribuan pertanyaan yang hanya Dia yang tahu jawaban terbaiknya.