Sabtu, 22 Maret 2014

Cerita Pagi

Maukah kau kuceritakan kisahku pagi ini?

Ada banyak ketulusan yang baru kusadari kini. Sosoknya yang biasa keras dan menyebalkan kini begitu lembut. Ia menceritakan kisah masa lalunya yang keras, mulai dari sekolah yang putus sambung karena tak ada uang, tawaran untuk mencari uang menjadi tukang minyak keliling, kesehariannya menjadi kuli bangunan untuk pembangunan tiang listrik, yang membuat bajunya kotor dan terlihat miskin.

Ini menjadi titik awal keinginannya untuk sekolah, hanya ingin memakai baju BERSIH. Tak belepot noda tanah dan debu yang kotor. Ia ingin terlihat rapi, bersih dan tak lagi kumuh. Selain itu ia pun tak melihat masa depan dengan menjadi kuli bangunan. Hal inilah yang membuat niatnya semakin besar untuk bisa sekolah. Hingga akhirnya ia bisa sekolah dan tersenyum bangga, di tengah teman-temannya yang masih menjadi kuli bangunan.

Sempat terputus sekolah karena uang tak ada, bapaknya menawarinya untuk berjualan minyak keliling, tak usah buang waktu untuk sekolah. Namun tak diiyakannya dan sekolah harus tetap dilanjutkan. Satu hal yang kusadari saat itu, ia ingin mengajariku arti perjuangan. Bahwa keinginan dan cita-cita harus diperjuangkan, seberapapun berat tantangan yang datang. Bahwa mimpimu kan menjadi nyata jika kau mau bekerja keras.

Setelah itu, ia mengajakku ke makam bapaknya. Banyak rumput liar di sana, ia pun memintaku menyabutnya agar terlihat bersih. Ada doa yang dipanjatkan. Bahkan sedikit bercanda mengenalkanku pada raga di dalam tanah yang tak lagi bernyawa. Untaian doanya buatku tak sanggup menahan tangis, bahkan ia sempat bercengkrama seolah-olah sedang berbicara dengan orang hidup menanyai kabar sang ahli kubur.

Setelah itu, ia berpindah ke makam lain. makam sahabatnya di tempatnya mengajar dulu. Beliau meninggal di masjid setelah pulang mengajar. Bertambahlah air mataku membanjiri, ia mengusap nisan kayu itu dengan lembut. Sesekali mencabuti rumput liar, lalu lantunan doa ia panjatkan sambil sedikit membuka pembicaraan. "Hai sahabat, apa kabarmu di sana? mungkin tak lama aku akan menyusulmu di tempat keabadian". Haruku semakin menjadi. Kembali ia mengusap nisan bertuliskan JAUHARUDIN itu dengan pelan, terasa sekali ada rindu mendalam yang ia pendam dan terurai lewat doa dan kata pagi itu.

Sesungguhnya ia tengah mengajariku tentang hidup, ada maut yang kan datang kapan saja. Seolah-olah ia mengajari dan sedang berbicara padaku bahwa suksesmu kutunggu kini, kuingin melihatmu mandiri sebelum tubuhku kaku dan kembali padaNya. Berkumpul dengan bapak dan sahabatku di alam abadi sana. Ku ingin bisa melihatmu bahagia dan mandiri. Ku ingin masih bisa melihat perjalanan hidupmu.

Ia adalah  ayahku tercinta yang sering kali manja, namun pagi ini Allah memperlihatkan ketulusan dan kelembutan hatinya di balik raganya yang tinggi besar, tersembunyi kebaikan hati dan cinta yang tulus untuk anak-anaknya. :').