Bolehkah kita marah padaNya? Pada Sang Kuasa yang
memiliki semuanya.
Bolehkah kita benci padaNya? Pada Sang Pencipta yang
memiliki segalanya
Bolehkah kita mempertanyakan kebaikanNya? Pada Sang
Rahman yang memiliki kesempurnaan.
Marah atas doa yang juga belum berwujud nyata. Marah atas kegagalan dan kesulitan yang dihadapi. Marah karena keinginan tak berbanding lurus dengan kenyataan.
Kemana perginya doa-doa
ini, kemana jawab doa-doa yang sudah diutarakan, kemana alur doa-doa yang sudah
dituliskan pada selembar kertas putih, kemana perginya doa-doa itu bermuara,
masihkah ia di lautan tak juga mau menepi agar menjadi nyata dan berujung
cerita.
Kemana doa-doa ini
berterbangan, tak juga mau ia berhenti mengepakkan sayapnya di udara. Mengapa
tak juga sudi hinggap saja pada ranting pohon. Agar jelas adanya, tak terus
mengudara dan segera untuk kembali ke daratan dan menjadi nyata. Tak lagi sekedar
imaji dan khayalan semata.
Kenapa yang terjadi justru
bukan jawab dari sebuah doa. Kenapa yang terjadi malah kebalikan dari sebuah
harapan yang diinginkan.
Kenapa justru masalah yang
semakin banyak. Kenapa yang harus dihadapi justru penderitaan yang tak bisa
dinikmati.
Kenapa yang hadir justru
kesengsaraan dan kesendirian yang terasa sepi.
Kapan ini berujung
bahagia, sampai ada senyum tak lagi duka.
Bagaimana mungkin Ia
meminta kita berdoa, namun yang terjadi tak sesuai harapan. Kenapa semua terasa
sulit diterima nyata. Kenapa semua terasa tak mengenakkan untuk dihadapi.
Kenapa semua terasa
menyebalkan dan mengesalkan. Sampai akhirnya amarah di tenggorokan tak bisa
terucap, yang ada kemudian hanya air bening yang mengalir dari ujung mata di
kepala.
Tak tertumpahkan segala pertanyaan dan pencarian
jawaban atas doa yang disuruh olehNya kita berdoa. Namun, jawaban atas doa itu
menjadi sebuah masalah baru yang kemudian harus dihadapi bukan untuk dinikmati.
Apakah yang diinginkanNya
dari setitik debu ini. Apakah yang dimaksud dari segala rencanaNya terhadap
manusia yang hina ini. Apakah tujuan Ia menjawab doa dengan masalah baru yang
tak ada indah di dalamnya. Apakah ini adil? Sementara mereka di sana
bergelimpangan bahagia.
Sementara manusia-manusia di sana berselimut
ceria suka tak ada duka, sementara orang-orang di sana bertaburkan harta dan
cinta di hidupnya, sementara padahal mereka justru tak berdoa dan tak meminta
padaNya.
Sampai lalu ada emosi
padaNya, sampai kemudian ada putus asa padaNya, sampai lalu ada keteracuhan
padaNya, sampailah kemudian pada titik klimaks dimana kejenuhan akan penantian
jawaban dari doa yang tak juga terkabulkan.
Pernahkah kau sadari bahwa jalan raya tak pernah sepi
dilalui motor dan mobil yang berlalu lalang.
Pernahkah kau sadari kenapa terus saja terjadi
kelahiran manusia-manusia baru di bumi.
Pernahkah kau memahami kenapa sebuah kematian pasti
terjadi tak pernah berhenti setiap hari.
Pernahkah kau mengerti bahwa kehidupan dimulai sejak
pagi lalu siang dan kembali istirahat di malam hari lalu kembali lagi menjadi
pagi dan terus begitu.
Pernahkah kau memahami semua pohon dan segala binatang
tak membutuhkan mesin untuk terus tumbuh, berkembang dan makan.
Pernahkah kau coba memahami bahwa semua yang kau
miliki adalah hampa jika tak disyukuri.
Pernahkah kau berpikir tentang hidup, bergerak
kesana-kemari lalu pada akhirnya pun akan kaku dan mati.
Pernahkah kau berpikir tentang itu semua? Untuk apa
hidup, untuk apa kita bangun setiap hari, untuk apa kita bergerak, untuk apa
ini dan itu. kalau toh pada akhirnya masalah yang dirasakan dan harus dihadapi.
“Apakah manusia mengira
bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan
mengatakan “Kami telah beriman” dan mereka tidak diuji? …………” (Qs.
Al-Ankabut:02)
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)
”Barangsiapa Allah
menghendaki menjadi baik, maka akan diuji” (HR. Bukhori Muslim)
Dua ayat Al-Qur’an dan
satu hadist di atas menjadi jawabannya. Atas segala macam keraguan yang muncul,
dan atas semua kebingungan yang mencekam. Ini menjadi jawaban nyata yang jelas
atas kecewa dan segala kegundahan atas doa diri yang belum terkabul.
Kebaikan dan ibadahmu
adalah investasi hidup yang akan selalu memayungi hidupmu. Seperti layaknya
pohon mangga yang tumbuh dari biji dan tak akan bisa langsung berbuah mangga. Ada
fase dan proses dimana pohon mangga itu akan bertumbuh dahulu sebelum
mengeluarkan ranum buahnya. Bertunas, bercabang, beranting, berdaun, berbunga sampailah lalu kemudian dia pun
berbuah.
Bahwa manusia ada
karenaNya, bahwa manusia tak bisa membuat prasangka sendiri, dan bahwa kualitas
manusia itu baik atau tidak akan terlihat setelah diuji. Manusia di uji sesuai porsi keimanannya. Kita hanya perlu Yakin bahwa akan ada kemudahan setelah kesulitan. Jika kini terasa sulit bahkan teramat sulit, maka yakinlah akan ada kebaikan di depan. Layaknya sebuah pisau yang bila terus diasah, maka kualitas tajamnya pun akan sangat berbeda dengan pisau yang tak pernah terasah.
Maka tak malukah kau
memaksa ingin ini itu, menuntut ini dan itu padahal diri masih begini dan
begitu.
Sampai lalu muncullah pertanyaan baru:
Apa imanmu sudah benar?
Apa ibadahmu sudah betul?
Dan Apa niatmu sudah
lurus?
Kemudian sampailah kita pada
titik kesadaran atas hakikat sebuah kehidupan yang harus dijalani di bumi, pada
ujung cerita dimana semuanya haruslah bermuara pada satu hal, semata-mata
karena Allah SWT kita berlaku dan beribadah. Sebelum menyesali saat nafas itu berhenti dan tak akan pernah kembali.