Kamis, 25 September 2014

JANGAN DIKUBUR!



google.com
Semua manusia punya masa lalu. Baik suka juga duka, yang merana juga bahagia, yang ceria maupun menderita. Semua punya masa lalu. Kumpulan kenangan tentang semua hal dalam hidup. Tumpukan memori yang membuat hati kadang merinding saat mengingatnya. Malah kadang menangis bahagia atau ada juga yang menangis tersedu haru menyesali semuanya.

Tapi masa lalu itu jangan dikubur!

Buang saja jauh-jauh dan sejauh mungkin. Apalagi masa lalu yang pahitnya laksana empedu, yang menjengkelkan hati dan menusuk dalam ke kalbu sampai membiru. Masukkan saja dia ke plastik lalu lemparkan sejauh mungkin sekuat tenaga. Bisa di darat, bisa di hutan bahkan bisa juga di tengah laut. Atau kau bisa membawanya ikut serta naik pesawat lalu jatuhkan dia dari ketinggian ribuan kaki lewat jendela pesawat. Bukan biar lupa,  tapi biar dia tak lagi kembali untuk menyakiti. Sehingga luka basahnya pun bisa segera kering lalu berganti sel dan kulit baru.

Kalau masa lalu itu dikubur, maka saat ada angin topan nan badai dan tsunami datang menerjang, gundukan tanah kuburan itu akan bisa kembali terbuka. Naik ke permukaan lalu kembali ke atas dan tak lama datang menghampiri sendiri. Padahal telah dalam galian tanahnya, tapi sayang bumi kembali memuntahkannya, entah karena apa. Lalu dia pun akan bertamu tanpa perlu mengetuk pintu lebih dulu.

Maka jangan kubur masa lalu! 

Buang saja jauh, lemparkan sekuat tenaga ke belahan lain lalu tinggalkan pergi. Jangan lagi ditengok nanti geer dia dibuatnya. Bukan untuk dilupakan tapi disingkirkan. Biar saja dia pergi melayang bersama angin,  terbawa arus sungai, tergulung ombak, termakan binatang buas atau bahkan terbang bersama debu dan daun kering. 

Lalu bernafaslah lega, hiruplah udara tanpa perlu gulana, karena masa lalu yang telah pergi. Dan jika pun nanti dia kembali, maka tak perlu sedih hati menangisi. Yakinlah pada Illahi Rabbi, kalau semua yang telah hilang dan pergi, kelak akan berganti dengan kebaikan sejati yang hakiki.

Rabu, 24 September 2014

BUKU VS FILM



sumber: google.com
Ada yang mengaku lebih suka nonton film ketimbang baca buku. Katanya pusing baca buku mah, banyak huruf-huruf gitu,  bikin males. Lebih asik dan seru langsung nonton filmnya, enak nggak pake mikir. Terus ada lagi yang bilang, “Ahh film nggak asik, ceritanya kurang dalem, lebih seru baca bukunya”. Filmnya nggak sebagus bukunya, banyak cerita di buku yang kelewat dan nggak mewakili cerita di buku. Nah, kalau temen-temen sendiri gimana? Pilih baca buku atau nonton film?

Beda kebiaasan, beda karakter jadi beda juga kesukaannya. Nggak bisa disamaratakan, emang jalanan aspal mesti rata? Hmm, nggak ada salahnya sih kalau kalian lebih nyaman nonton film dari pada baca buku. Bukan berati juga sih yang lebih suka nonton film itu  orang yang ingin selalu serba praktis dan simple. Dan bukan berati juga orang yang lebih suka baca buku itu termasuk orang yang detail, ribet dan perfectsionis.

Tapi yang jelas, kalian bebas kok memilih mana yang lebih kalian sukai dan nyaman. Bebas pula berpendapat tentang ini dan itu, asal jangan sampai menyebut merk, menyudutkan dan menghina pihak tertentu dan orang lain. Jadi yang wajar dan normal-normal saja agar aman sentosa semuanya. *peace…

Kalau saya pribadi memang lebih suka baca bukunya secara langsung, ketimbang menonton filmnya. Karena kalau di buku terasa banget dalemnya. Ini sih yang saya rasakan, nangis dan sesunggukannya itu lebih dapet. Feelnya juga lebih kena menohok ke hati *lebay hehe. Beda  sama  nonton film, imajinasi sutradara nggak sama dengan imajinasi kita pembaca buku. Setiap kepala punya imajinasi dan feel yang beda. Jadi cerita yang diinterpretasikan sang sutradara dari buku kadang kurang ngena. Feelnya kurang banget, padahal kadang itu adalah inti cerita yang super dasyat. Eh, pas di filmkan justru yang ada datar saja, malah kadang terpotong dan melompat begitu saja, karena terbatasnya durasi. Kaciwa dong jadinya kita, kok gini sih? Kok kaya gitu sih? Iih sebel sebel sebel. Hehehe

Dari yang udah-udah sih, jelasnya ada saja kurangnya kalau karya cerita sebuah buku terus difilmkan. Bukan karena sutradaranya ini nggak pintar loh, tapi memang nggak semua plot dan alur cerita di buku itu bisa divisualisasikan secara benar dan konkrit oleh sutradara, sesuai dengan imajinasi para pembaca bukunya. Eh, bukan berati juga sutradara ini nggak jago loh tapi sutradara kan juga manusia, ada batas nalar dan daya pikir yang berbeda pada setiap kepala manusia. Terlebih imajinasi isi kepala manusia itu beda dan banyak macam juga rupanya.

sumber: google.com
Selain terbatasnya durasi waktu, ada hal juga yang jadi patokannya, yang paling utama adalah faktor komersil. Sampai kadang hilang idealisme penulisnya saat sudah jadi film, hal ini karena tak ada kawalan ketat sang penulis buat bapak sutradaranya. Mana pakem yang harus di tonjolkan, mana pakem yang jangan dilebih-lebihkan. Kadang karena demi menarik pasar hal-hal yang biasa saja di alur buku, eh dibumbuin berlebihan. Jadi rame sih, tapi inti sari ceritanya itu malah jadi ngeblur alias samar berkabut.  Alhasil pesan penulis buku buat para pembacanya justru jadi beda sama pesan difilm yang ditangkap para penonton. Nggak balance alias nggak seimbang, malah jomplang. Idealisme penulisnya tersamarkan oleh kelebayan adegan-adegan yang dikarang sutradara demi komersialitas pasar. 

Kembali lagi, semuanya ada plus minusnya. No body perfect! Maka  jangan menuntut banyak dan memaksa kesempurnaan cerita dari sutradara jika kalian bukanlah Bapak Produsernya. Hehe…

Selasa, 23 September 2014

USIA



Apa yang membuat badan yang semula tegak, tegap, gagah nan perkasa kini melemah renta tak berdaya?. Seolah lesu, hilang tenaga, habis energi, terkuras daging yang dulu menyelimuti tubuh hingga tinggi besar berisi. Kini hilang semua, lenyap dan pergi entah kemana. Hingga lalu yang ada hanya tubuh renta dengan jalan membungkuk, kulit muka mengendur, kurus penuh keriput dan tongkat kayu sebagai penyangga.

Tak lagi bisa berdiri lama, bicara lantang dan kencang, tajam menatap, sampai keras membentak. Semua itu hilang dan berada pada satu masa, saat usia telah menjadi tua  dan renta. Hilang sudah segala kegagahan dahulu kala, terbang lenyap bersama sakit dan penyakit yang sering datang lalu pergi sebentar dan kembali lagi. Sampai tubuh sering sakit tanpa sebab kemudian melemah sendiri, lesu tak berdaya dan akhirnya merasa sepi tak lagi berarti.

Usia yang menyebabkan kaki tak lagi bisa menopang tubuh untuk berdiri lama, usia yang menjadikan hilang gagah diri, usia yang membuat raga berubah keriput, usia pula yang  menjadikan sehat kini lebih sering sakit. Usia berjalan cepat, tak berargo tapi tanpa sadar sering membuat shock, karena tak terasa sudah begitu banyak angka yang terlewat. Tak sadar atau sengaja tak diingat. Usia selalu bertambah setiap tahun, selalu begitu, selalu seperti itu kecuali kiamat lebih dulu atau maut datang tanpa beri tahu.

Tapi tak semua manusia mau menerima usia tua dalam hidupnya. Sampai lalu segala kimia ditusuk masuk guna mencegah keriput, menghalau renta agar tak tampak merata. Tak semua yang sudah tua mau mengakui ketuaannya, memahami ada batas di depan, dimana ada garis finish akan jatah hidupnya di dunia, yang menunggu di kejauhan tanpa beri kabar dulu. Sayangnya tak semua yang menua itu tahu tentang ini, untuk peduli lalu sadar diri mempersiapkan semuanya, sebelum sampai pada garis finis itu (mati).

Usia tak bisa dilawan, apalagi ingin menghentikan usia agar tak selalu bertambah setiap tahun, berharap bisa muda selalu dan selamanya. Waktu berputar ke depan tak bisa diulang apalagi minta diperpanjang. Tak akan bisa kau menghentikan waktu yang terus berjalan kecuali jika jam dinding di rumahmu mati tak ada baterai.

Maka usia adalah sinyal alami dari Illahi bahwa tak ada kata abadi, karena akan ada mati nanti, jika tak minggu ini mungkin bulan nanti, jika tak juga mungkin saja tahun nanti atau jangan-jangan hari ini.
Wallua’lam bishoab



RESENSI NOVEL: KAPAL VAN DER WIJCK DAN SEBUAH LUKA



Cinta memang tak bisa selalu memiliki, cinta juga tak bisa selalu dekat dan bersama. Tapi bisa selalu bermesra dan berdua dengan yang dicinta adalah indah adanya. Namun tak semua yang kita ingini bisa menjadi nyata dan terwujud sempurna. Baik saja berharap seperti itu, menabur asa segala rupa ingin ini dan itu, mau ini dan menolak yang itu. Tak ada yang melarang dan tak ada pula yang memaksa, hanya kadang terbatasnya nalar manusia membuat semua asa dan maunya selalu ingin dituruti, padahal tak semua inginnya sesuai dengan kebutuhan. 

Ego manusia terlalu besar, untuk itu sampai Allah pun bilang jihad terbesar adalah melawan nafsu diri sendiri. Sampai-sampai saat yang diharap dan dipuja sudah berada di depan mata pun ditolak mentah karena ego diri yang sudah bercampur luka, kecewa, dan dendam. Ini adalah sedikit gambaran kisah cinta antara Engku Zainudin dan Hayati dalam “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” sebuah novel sastra karya Buya Hamka 

Rasa cinta yang mengakar kuat di hati engku Zainudin, seorang pemuda biasa yang tak berharta pada Hayati perempuan desa keturunan bangsawan Minang. Saling berjanji dan berharap bisa hidup bersama, merajut keluarga penuh suka cita. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba Hayati terpaksa memilih laki-laki lain dengan alasan harta dan tahta, yang tak dimiliki oleh Engku Zainudin. Sampai lalu, Engku Zainudin kecewa dan terluka luar biasa. Sakit berbulan-bulan menderita fisik dan batin, merana sendiri, tak ada yang peduli dan memutuskan pergi dari kampung halamannya untuk merantau dan melupakan Hayati. 

Bertekad dan terus bekerja keras bahwa akan ada perubahan jika terus bergerak, harta yang tak dimilikinya dulu kini perlahan datang dan melingkupi hidupnya. Rasa kecewa akan cintanya dan luka akan penghianatan janji yang dicintainya membuat lecutan besar dalam diri Engku Zainudin untuk terus menghasilkan karya. Dan ternyata karyanya ini laku di pasaran. Banyak peminat kisah-kisah nyata dan khayalannya, mungkin pembacanya merasa senasib atau kasihan semata, yang jelas ini membuatnya kaya raya penuh harta.  Sampai terpandang dirinya kini, tak lagi dianggap remeh temeh karena tak kaya. 

Tak ada yang tahu misteri hidup manusia di masa depan. Hayati yang berharap bisa bahagia bersama suaminya justru malah hidup menderita. Hutang menumpuk sana-sini, membuat suami Hayati memutuskan menulis wasiat sebelum mati bunuh diri. Wasiat yang berisi menyerahkan Hayati pada cinta pertamanya, namun sayangnya Engku Zainudin sang pujangga ini justru menolak Hayati yang telah disodorkan suaminya sendiri. 

Padahal Hayati telah mengiba meminta maaf ribuan kali pada sang pujangga, atas khilaf dirinya di masa lalu, berharap bisa diterima kembali. Hayati menyesal sekali, akan pilihan hidupnya yang dulu. Jikalau  ia tahu masa depannya akan seperti ini, maka ia tidak akan memilih hidup dengan harta kaya. Tapi memilih setia bersama sang pujanga walau tak ada harta tapi berlimpah cinta di dalamnya.

Namun nasi telah menjadi bubur, sang pujangga masih sakit hatinya. Bekas lukanya belum kering, karena pisaunya menusuk terlalu dalam. Sampai ia sendiri pun tak tahu kapan sembuh luka hatinya. Dan akhirnya Hayati malah diacuhkannya, tak dipedulikan walau salah telah diakuinya. Tapi Hayati juga tahu, salahnya pada sang pujangga terlalu besar maka wajar saja jika gayung tak bersambut merdu. Maka ia pun memutuskan mundur  dan tak lagi berharap pada cinta pertamanya yang dulu. Hayati memilih naik kapal untuk kembali ke kampung halaman, mencari bahagianya yang hilang dan mengubur rasa sesalnya atas peristiwa yang dulu. 

Sayangnya kapal Van der Wijck yang ditumpangi Hayati tenggelam, banyak korban di sana. Sang pujangga yang mendengar kabar ini pun kalang kabut, seperti diburu nafsu ia mengebut kemudi untuk bisa bertemu Hayati. Berharap Hayati bisa selamat lalu hidup setia dengannya. Tapi fakta yang ada Hayati sekarta tak lagi bisa bernafas sempurna, banyak luka di badannya. Bahkan untuk membuka mata saja sulit. Sang pujangga menuntun dan menguatkannya untuk bisa mengucapkan kalimat syahadat di akhir hidupnya. Tak lama bibirnya mengucap syahadat, nafas itu pun hilang dan raganya tak lagi bernyawa. 

Hayati berpulang, sang pujangga menyesali segalanya. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, akan takdir maut yang dicintainya. Lalu sang pujangga ini memilih mengenang cintanya pada Hayati dengan caranya sendiri. Ia ingin membahagiakan Hayati yang telah berbeda dunia dengannya kini dengan cara berbagi. Mengubah rumah istananya untuk dibuat panti, buat mereka para anak-anak yatim dan anak-anak tak beruntung yang ditelantari oleh orang tua sendiri. 

Tak ada yang perlu disesali atas cinta yang tak bisa kau miliki, biar saja itu pergi, walau sakit harus terlewati agar berlalu. Tapi tunggu, janganlah kau meragu, yakin saja dulu akan ada masa dimana waktu akan membuatmu tahu. Bahwa cinta yang tak bisa kau miliki adalah tanda dari Sang Maha Tahu kalau itu bukanlah jalan untukmu. Maka jangan kau paksa lewat situ, karena banyak batu bukan cuma satu tapi beribu-ribu. Sampai akhirnya barulah kau tercenung sadar dan membisu, bahwa aturan dariNya untuk mahluk yang telah diciptakanNya adalah bukan sunnah tapi Fardhu.  

TERAPI MUMET



Pernahkah pikiranmu semrawut? Seperti ada benang kusut di dalamnya, seperti tak rapih dan butuh udara segar untuk bernafas. Seperti ada sesak di dada, seolah ada tumpukan batu besar yang membuatnya penuh. Seperti ada hal aneh yang tak kau tahu itu apa, seolah terus saja memburu ingin tahu ini dan itu, seolah memaksa harus ini dan itu. Lalu jenuh yang ada kemudian. Titik bosan yang kau sendiri bingung harus bagaimana dan seperti apa, sekarang, besok, bulan depan dan nanti.

Jika iya jawabmu, maka buang saja hapemu sejenak. Cabut saja baterainya sebentar. Sejam, dua jam, sehari, dua hari bahkan seminggu jika kau kuat dan mampu. Kenapa hape yang harus dibuang? Kenapa hape yang disalahkan? Padahal itu bukan sumber masalah sesungguhnya. Padahal bukan itu biang kerok keladinya. Padahal bukan itu asal muasal. Dan kenapa harus hape?

Adakah hape sungguh sumber semrawut dan mumetnya pikirmu. Adakah benar hape sumber kesesakan hati dan dadamu? Apa hubungan ini dan itu. Apa korelasi hape dengan semuanya?

Coba saja resep ini. Buka casing hapemu, lalu cabut baterainya, kemudian lepas dan taruh ia di dalam laci. Tarik nafas dan lakukan kegiatan lain. Tak usah ingat hape untuk sejenak, tak perlu kau tarik kembali lagi laci untuk mengambil hape. Tak perlu kau gatal dan ingat hape. Lakukan saja hal lain. Apa saja, sesuai yang kau suka. Sesuai yang kau inginkan. Sesuai hobi dan minatmu, yang selama ini terganjal dan tertunda gara-gara hape, gara-gara gatal ingat hape. Baru sebentar membaca, lihat hape. Baru sebentar bercengkrama lihat hape, baru sebentar mengaji ingat hape, baru semenit menulis lihat hape, baru lima menit mengetik lihat hape, belum selesai tugas ingat hape, baru selesai shalat lihat hape sampai doa pun kadang akhirnya lebih sering lewat status bbm dan sosial media. Ketimbang curhat langsung pada Sang Pemilik ruh dan otak manusia yang telah membuat hape. 

Adakah kau seperti itu? adakah sungguh kau ingin sejenak tenang dan kembali normal? Maka lakukan itu saja dulu. Cabut baterei hapemu, simpan ia di laci dan lupakan sementara waktu. Karena sungguh rasa ingin tahumu tentang ini dan itu terlalu besar dan sering kali dituruti, karena sungguh rasa penasaran bin kepo membuatmu akan semakin banyak terus menduga-duga dan prasangka, karena sungguh inilah yang membuat tenang pergi tak juga mau kembali. 

Sampai kemudian membuatmu tak mau mengaji, sampai kau pun lupa untuk memberi, sampai kau pun tak tahu dan tak lagi peduli, sampai kau sibuk sendiri, sampai kau tak tahu kabar-kabari orang-orang di lingkungan sekitar sendiri, sampai kau pun tak tahu ada saudara sebelah rumah yang sakit hati, sampai kemudian kau pun akan tersentak kaget kalau-kalau ternyata ada tetangga kampung sebelah yang telah mati bunuh diri.

Lalu sampai kapan terapi ini dilakukan?

Sampai tenang hati dan tak sumpek lagi, sampai jiwa sehatmu kembali hadir. Sampai kau tahu bahwa dunia di sekitar dan sekelilingmu luas. Walau pun memang mbah google terasa luas dan menjangkau yang tak terjangkau, walaupun internet memudahkan yang tak mudah, walaupun memang semua itu membuatmu tahu dan semakin tahu. Tapi sungguh hape dan internetmu tak bisa membuat mumet dan sumpek di dada dan kepalamu berhenti di satu titik bernama TENANG.

Tunggu apa lagi. Cabut saja baterai hapemu dan lupakan hape!

Lakukanlah yang selama ini telah lupa kau lakukan dan kau tinggalkan lama. Maka perlahan sumpek bin mumet itu akan berganti TENANG, hasil bercengkrama nyata dengan pemilik ruh dalam ragamu yang selama ini lupa gara-gara hape.