Minggu, 13 April 2014

Tak Tersirat dari The Raid 2


Sebagai penikmat film romantika, pengagum drama percintaan yang mengharubiru penuh suka. Menonton film trailler menjadi pengalaman baru dan berbeda, alhasil saat mata disuguhi film The Raid 2 BERANDAL, komentar yang paling tepat adalah SERAM. 

Film ini lebih seram dibanding film Susana, kuntilanak, juga aneka pocong dan keronconya. Alhasil di beberapa part film, kain kudungku menjadi cadar mata karena tak sanggup melihat kesadisan dan kekerasan yang terjadi. Tak ketinggalan juga, untaian istigfhar sebagai respon kaget dari berbagai kejutan yang terjadi. Gimana nggak kaget, gimana nggak takut, gimana nggak ngeri karena di film ini NYAWA terlihat tak berarti. Senjata yang dipakai buat beradu jotos dan menghilangkan nyawa lawan bukan cuma aneka pistol, tapi ada juga golok, kater, martil, pisau, celurit bahkan stik bisbol lengkap dengan bolanya.

Film ini penuh ketegangan, ancaman, kejutan, dan kesadisan yang tak lagi canggung. Tapi sebenarnya keren sadisnya, kenapa keren? karena berbagai adegan film ini terasa nyata padahal kan nggak nyata ya, semuanya bohongan. Mulai dari Kematian yang dipertontonkan, tumpah darah yang tercecer, tembakan-tembakan maut, adu balap mobil yang sampai pemainnya kelindes truk adalah kebokisan belaka. Terus juga, ada gambaran tentang bisnis underground seperti produksi vcd porno oleh pribumi, perebutan lahan bisnis oleh para kapitalis Jepang, sampai lobi-lobi politik tingkat tinggi. 

Lalu, ada nggak sih pelajaran bin hikmah yang bisa diambil dari film yang satu ini. Atau Cuma kesadisan yang bisa kita bawa pulang. Atau juga pelajaran kekerasan? Bahwa semua hal haruslah diselesaikan dengan berantem dan yang berduitlah yang berkuasa, atau yang paling kuat bin jago silatlah yang bisa menang?  

Kalau mau ditelisik lebih dalam, film The Raid 2: Berandal ini membawa pelajaran yang tak tersirat. Tak bisa sepintas dilihat dengan mata, kacamata dan kaca pembesar. Apalagi kalau sampai ketiduran saat nonton film, ya alhasil cuma kesadisan yang bisa ditangkap setelah keluar dari bioskop. 

Pertama, EGO
Sejak adegan pertama film sampai berakhirnya film ini, ego adalah hal besar yang paling utama disuguhkan sutradara ke penonton. Mulai dari ego para bos besar dan keronconya yang saling beradu berebut kuasa. Merasa paling hebat, paling benar, paling keren, paling kuat, paling kuasa, paling disegani dan paling-paling lainnya. Sampai merasa orang di luar golongan dia, harus dimusnahkan karena menjadi ancaman. Tak ada kawan sejati disana, yang ada hanyalah ego diri semata untuk bisa menjadi besar, sampai tak bisa menyadari kekurangan diri sendiri. 

Kedua, EMOSI
Emosi akan menutupi kebenaran yang ada di depan mata, menjadi terlihat salah. Emosi jiwa akan sangat mendominasi terutama saat pikiran tak sejalan dan penolakan atas keinginan diri yang tak terpenuhi, amarah akan membuncah lalu berbalik arah menyerang lawan bahkan kawan dari belakang. Otak yang terlanjur emosi, tak lagi bisa berpikir sehat. Pikirannya hanya berisi berbagai trik culas untuk bisa menyerang lawan. Bagaimana bisa memperbesar diri, tak peduli harus menyakiti orang lain bahkan membuat mati pun terasa hanya tinggal menjentikkan jari.

Ketiga, NAFSU
Nafsu yang tidak dilandasi dengan nilai hakiki akan seperti banteng liar yang siap menyeruduk siapa saja yang menghalangi. Segala perbuatan dan tindak-tanduknya menjadi tak terkendali. Tingkah laku diri di luar nalar, logika apalagi simpati tak bermain di sana. Semua telah berkabut oleh nafsu diri, jiwanya terlanjur mengering dan gersang sampai tenang pun tak bisa dirasa lagi. 

Keempat, AMBISI
Ambisi yang tak dibarengi dengan empati menjadi buta. Hanya ada kegelapan di sana. Sampai kemudian ayah sendiri bisa dengan mudahnya ditembak mati oleh anak kandungnya, demi sebuah ambisi menjadi bos besar. Tak melulu menjadi boneka curut dari ayahnya si penguasa bisnis ibukota. Ambisinya menjadi liar, karena harapan digantung pada manusia, hingga saat goyah ia tak ada pegangan apalagi pijakan pada pemilik ruh dan raganya.  

Kelima, KEJUJURAN
Jujur dan benar bukan berarti terlihat bodoh. Menjadi manusia naïf di tengah-tengah mafia pencari untung bukan pilihan tepat. Tak sulit berlaku untuk tetap pada pilihan menjadi orang benar dan jujur, yang sulit adalah bagaimana seseorang bisa berpikir dan berbuat lebih hati-hati dalam bertindak di tengah orang-orang licik nan culas penikmat dosa dan pemuja materi.

Keenam, KEBAHAGIAAN
Tak ada bahagia yang disodorkan sutradara di film ini. Semua hanya tentang amarah, padahal materi yang banyak diimpikan orang berlimpah ruah di sana. Materi yang dianggap orang sebagai sumber utama kebahagiaan tak berlaku di film ini. Gelimpangan harta dunia yang berada di tangan tak bisa membuat bahagia, bahkan senyum yang menguntai pun hanya sandiwara semata. Apalagi tawa, bukan tawa bahagia dari hati yang diumbar, tapi tawa penuh teka-teki untuk bisa saling menjatuhkan.

Sila share jika menurut kalian masih ada yang lainnya...