sumber: google.com |
Ada yang mengaku lebih suka nonton film ketimbang baca
buku. Katanya pusing baca buku mah, banyak huruf-huruf gitu, bikin males. Lebih asik dan seru langsung
nonton filmnya, enak nggak pake mikir. Terus ada lagi yang bilang, “Ahh film
nggak asik, ceritanya kurang dalem, lebih seru baca bukunya”. Filmnya nggak
sebagus bukunya, banyak cerita di buku yang kelewat dan nggak mewakili cerita
di buku. Nah, kalau temen-temen sendiri gimana? Pilih baca buku atau nonton
film?
Beda kebiaasan, beda karakter jadi beda juga
kesukaannya. Nggak bisa disamaratakan, emang jalanan aspal mesti rata? Hmm,
nggak ada salahnya sih kalau kalian lebih nyaman nonton film dari pada baca buku.
Bukan berati juga sih yang lebih suka nonton film itu orang yang ingin selalu serba praktis dan
simple. Dan bukan berati juga orang yang lebih suka baca buku itu termasuk
orang yang detail, ribet dan perfectsionis.
Tapi yang jelas, kalian bebas kok memilih mana yang
lebih kalian sukai dan nyaman. Bebas pula berpendapat tentang ini dan itu, asal
jangan sampai menyebut merk, menyudutkan dan menghina pihak tertentu dan orang
lain. Jadi yang wajar dan normal-normal saja agar aman sentosa semuanya. *peace…
Kalau saya pribadi memang lebih suka baca bukunya
secara langsung, ketimbang menonton filmnya. Karena kalau di buku terasa banget dalemnya. Ini sih
yang saya rasakan, nangis dan sesunggukannya itu lebih dapet. Feelnya juga
lebih kena menohok ke hati *lebay hehe. Beda sama nonton film, imajinasi sutradara nggak sama
dengan imajinasi kita pembaca buku. Setiap kepala punya imajinasi dan feel yang
beda. Jadi cerita yang diinterpretasikan sang sutradara dari buku kadang kurang
ngena. Feelnya kurang banget, padahal kadang itu adalah inti cerita yang super
dasyat. Eh, pas di filmkan justru yang ada datar saja, malah kadang terpotong
dan melompat begitu saja, karena terbatasnya durasi. Kaciwa dong jadinya kita,
kok gini sih? Kok kaya gitu sih? Iih sebel sebel sebel. Hehehe
Dari yang udah-udah sih, jelasnya ada saja kurangnya
kalau karya cerita sebuah buku terus difilmkan. Bukan karena sutradaranya ini
nggak pintar loh, tapi memang nggak semua plot dan alur cerita di buku itu bisa
divisualisasikan secara benar dan konkrit oleh sutradara, sesuai dengan
imajinasi para pembaca bukunya. Eh, bukan berati juga sutradara ini nggak jago
loh tapi sutradara kan juga manusia, ada batas nalar dan daya pikir yang berbeda
pada setiap kepala manusia. Terlebih imajinasi isi kepala manusia itu beda dan banyak macam juga rupanya.
sumber: google.com |
Selain terbatasnya durasi waktu, ada hal juga yang
jadi patokannya, yang paling utama adalah faktor komersil. Sampai kadang hilang
idealisme penulisnya saat sudah jadi film, hal ini karena tak ada kawalan ketat
sang penulis buat bapak sutradaranya. Mana pakem yang harus di tonjolkan, mana
pakem yang jangan dilebih-lebihkan. Kadang karena demi menarik pasar hal-hal
yang biasa saja di alur buku, eh dibumbuin berlebihan. Jadi rame sih, tapi inti
sari ceritanya itu malah jadi ngeblur alias samar berkabut. Alhasil pesan penulis buku buat para
pembacanya justru jadi beda sama pesan difilm yang ditangkap para penonton. Nggak
balance alias nggak seimbang, malah jomplang. Idealisme penulisnya tersamarkan oleh
kelebayan adegan-adegan yang dikarang sutradara demi komersialitas pasar.
Kembali lagi, semuanya ada plus minusnya. No body
perfect! Maka jangan menuntut banyak dan memaksa kesempurnaan
cerita dari sutradara jika kalian bukanlah Bapak Produsernya. Hehe…