Rabu, 24 September 2014

BUKU VS FILM



sumber: google.com
Ada yang mengaku lebih suka nonton film ketimbang baca buku. Katanya pusing baca buku mah, banyak huruf-huruf gitu,  bikin males. Lebih asik dan seru langsung nonton filmnya, enak nggak pake mikir. Terus ada lagi yang bilang, “Ahh film nggak asik, ceritanya kurang dalem, lebih seru baca bukunya”. Filmnya nggak sebagus bukunya, banyak cerita di buku yang kelewat dan nggak mewakili cerita di buku. Nah, kalau temen-temen sendiri gimana? Pilih baca buku atau nonton film?

Beda kebiaasan, beda karakter jadi beda juga kesukaannya. Nggak bisa disamaratakan, emang jalanan aspal mesti rata? Hmm, nggak ada salahnya sih kalau kalian lebih nyaman nonton film dari pada baca buku. Bukan berati juga sih yang lebih suka nonton film itu  orang yang ingin selalu serba praktis dan simple. Dan bukan berati juga orang yang lebih suka baca buku itu termasuk orang yang detail, ribet dan perfectsionis.

Tapi yang jelas, kalian bebas kok memilih mana yang lebih kalian sukai dan nyaman. Bebas pula berpendapat tentang ini dan itu, asal jangan sampai menyebut merk, menyudutkan dan menghina pihak tertentu dan orang lain. Jadi yang wajar dan normal-normal saja agar aman sentosa semuanya. *peace…

Kalau saya pribadi memang lebih suka baca bukunya secara langsung, ketimbang menonton filmnya. Karena kalau di buku terasa banget dalemnya. Ini sih yang saya rasakan, nangis dan sesunggukannya itu lebih dapet. Feelnya juga lebih kena menohok ke hati *lebay hehe. Beda  sama  nonton film, imajinasi sutradara nggak sama dengan imajinasi kita pembaca buku. Setiap kepala punya imajinasi dan feel yang beda. Jadi cerita yang diinterpretasikan sang sutradara dari buku kadang kurang ngena. Feelnya kurang banget, padahal kadang itu adalah inti cerita yang super dasyat. Eh, pas di filmkan justru yang ada datar saja, malah kadang terpotong dan melompat begitu saja, karena terbatasnya durasi. Kaciwa dong jadinya kita, kok gini sih? Kok kaya gitu sih? Iih sebel sebel sebel. Hehehe

Dari yang udah-udah sih, jelasnya ada saja kurangnya kalau karya cerita sebuah buku terus difilmkan. Bukan karena sutradaranya ini nggak pintar loh, tapi memang nggak semua plot dan alur cerita di buku itu bisa divisualisasikan secara benar dan konkrit oleh sutradara, sesuai dengan imajinasi para pembaca bukunya. Eh, bukan berati juga sutradara ini nggak jago loh tapi sutradara kan juga manusia, ada batas nalar dan daya pikir yang berbeda pada setiap kepala manusia. Terlebih imajinasi isi kepala manusia itu beda dan banyak macam juga rupanya.

sumber: google.com
Selain terbatasnya durasi waktu, ada hal juga yang jadi patokannya, yang paling utama adalah faktor komersil. Sampai kadang hilang idealisme penulisnya saat sudah jadi film, hal ini karena tak ada kawalan ketat sang penulis buat bapak sutradaranya. Mana pakem yang harus di tonjolkan, mana pakem yang jangan dilebih-lebihkan. Kadang karena demi menarik pasar hal-hal yang biasa saja di alur buku, eh dibumbuin berlebihan. Jadi rame sih, tapi inti sari ceritanya itu malah jadi ngeblur alias samar berkabut.  Alhasil pesan penulis buku buat para pembacanya justru jadi beda sama pesan difilm yang ditangkap para penonton. Nggak balance alias nggak seimbang, malah jomplang. Idealisme penulisnya tersamarkan oleh kelebayan adegan-adegan yang dikarang sutradara demi komersialitas pasar. 

Kembali lagi, semuanya ada plus minusnya. No body perfect! Maka  jangan menuntut banyak dan memaksa kesempurnaan cerita dari sutradara jika kalian bukanlah Bapak Produsernya. Hehe…