Ada yang hendak melawan takdir, usia bertambah namun tak mau dianggap tua. Apalagi dibilang lanjut usia. Padahal sudah lebih setengah abad dia hirup dengan gratis udara di bumi. Sudah lebih setengah abad pula dia membuka matanya. Namun saat mendengar kata MATI, matanya seolah tak bisa terpejam, udara yang dihirupnya pun seakan tak mau mampir ke hidungnya. Dada sesak, mata kering tak bisa lelap. Pikirannya melayang bukan karena takut MATI, tapi karena dia masih merasa muda dan tak pantas untuk MATI, masih banyak yang lebih tua dan itu baginya lebih pantas pergi lebih dulu. Rasanya tak adil jika dia harus mati, walau usia sudah lebih setengah abad, tapi jiwanya masih muda “katanya”. Maka segala suntik pun dia lakoni untuk menahan kulit di wajahnya tetap ke atas dengan sempurna, tidak menggelambir apalagi harus mengkirut bergaris macam kulit jeruk yang akan membusuk.
Sayang
seribu sayang, cairan kimia itu awalnya memang berhasil membuatnya semakin
percaya diri, segala event dan pesta dia datangi bahkan yang tak di
undang pun dia hadiri guna memperlihatkan eksistensi diri dan wajah kencangnya
yang mulus sempurna. Sampai senyum pun tak pernah pergi sejenak dari wajahnya.
Pujian dan rayuan mampir kepadanya, bahkan dia pun sempat berbunga-bunga saat
ada lelaki yang baru seminggu menyandang status duda mengajaknya untuk makan
malam Jumat depan. Tapi tepat Senin dini hari, dia tak menyadari cairan kimia
yang dibilang botox itu tak diterima oleh darah di tubuhnya. Ada
perlawanan yang terjadi pada metabolisme tubuh perempuan setengah abad itu.
Sampai saat dia berkaca bukan lagi wajah kencang nan mulus yang ada di cermin,
tapi lima gumpalan berlendir di wajahnya. Dua di atas matanya, dua di pipi
kanan dan kiri, satu di dagu. Betapa kaget dan terkejutnya dia. Tiba-tiba
kepalanya sakit dan sulit bernafas. Dari mana gumpalan ini? Apa dia lupa
meminum obat? Atau jangan-jangan ada yang hendak berniat jahat padanya dan
mengirimkan santet?. Segala macam pikiran jahat berlari, lalu berputar di
otaknya. Langsung saja diambil Hp tipe terbaru di atas kasurnya dan menelpon
dokter kulit langganannya yang lulusan Amerika Serikat itu. Semua kepanikannya
dimuntahkan, kemarahannya dia lepas saja sampai tak sadar emosinya itu justru
membuat gumpalan-gumpalan di wajahnya berkedut sampai nyeri.
Betapa
tercengangnya sang dokter saat melihat perubahan drastis wajah pasiennya, dari
mana gumpalan ini muncul, padahal pasien tak punya riwayat alergi obat dan
sebagainya. Namun sebagai dokter, ia harus tetap tenang menghadapi situasi
segawat apapun, maka ia pun mencoba tetap tersenyum mencari solusi terbaik bagi
pasien setianya. Ia segera menulis resep obat dan meminta sang pasien untuk
menebusnya di apotek terdekat. Bukan obat paten penghilang gumpalan tapi hanya
sekedar obat penghilang rasa nyeri sebagai tahap awal. Dua hari berikutnya
gumpalan sedikit mengempes dan nyeri perlahan mulai berkurang, ia masih punya
waktu tiga hari untuk meyembuhkan gumpalan di wajahnya sebelum acara makan
malam bersama Duda baru di Jumat malam. Berharap bisa sembuh lebih cepat maka
dia pun meminum obat itu lebih dari yang dianjurkan dokter. Tak ada gejala yang
aneh di awal tapi kelamaan lambungnya perih, perutnya seperti dikuras. Cairan
hijau kekuningan keluar dari mulutnya bersama darah, dia pun hilang kesadaran.
Sang dokter
kulit lulusan Amerika Serikat tak tahu pasien setianya masuk ICU, ia sedang
berlibur di luar negeri di Pantai Hawaii menikmati hasil keringatnya berjualan
obat awet muda di negerinya. Sudah seminggu perempuan berusia setengah abad itu
tak sadarkan diri koma di Rumah Sakit dan sang Duda baru pun sampai bingung
gebetan barunya itu tak bisa dihubungi, maka otak kreatifnya memunculkan ide
segar. Dia memutuskan untuk mengajak perempuan tua lain yang kaya raya sebagai
ganti teman makan malamnya. Walau tak
secantik gebetan sebelumnya tapi cukup lumayan, menghilangkan cemasnya karena
khawatir cairnya uang asuransi almarhum istrinya tak bisa menutupi hutangnya di
bank. Beruntunglah perempuan mengiyakan ajakan makan malamnya karena sayang
katanya jika dibatalkan.
Dunia yang
dia tempati sekarang terasa asing baginya, tak ada yang dia kenal. Maka dia pun
hanya duduk saja di bawah pohon dengan wajah menunduk seolah ada sesal yang
menumpuk sampai menggunung di dadanya. Ia sedih dan sedikit gemetar, ada
perasaan takut yang menyelimuti dirinya sekarang, tapi ia tak tahu takut karena
apa. Dadanya terasa berat selah ada tumpukan batu yang menindihnya. Maka
kepalanya menunduk semakin dalam, ia tak berani mendongakkan kepalanya lalu
melihat sekitar. Sampai lalu ada yang menepuk pundaknya pelan. Senyum
mengembang dengan tulus darinya, siapa perempuan berparas teduh di depannya
sekarang? Tanpa basa-basi perempuan berparas teduh ini menggandeng tangannya
lalu mengajaknya berkeliling. Dan dia masih tetap menunduk awalnya, namun
semakin jauh kakinya melangkah, semakin berat terasa tubuhnya seolah kaki tak
mampu melangkah lagi karena terlalu berat menopang bobot tubuhnya. Hanya
hamparan rumput dengan satu dua pohon besar yang meneduhkan dan hanya ada dia
dan perempuan berparas teduh di sana.
Kebingungan
mulai merayapi pikirannya, hendak dibawa kemana dia. Tak ada orang lain di
padang rumput sebesar ini, hanya sekumpulan kupu-kupu berwarna emas di balik
bunga dan pohon besar. Namun lama-kelamaan genggaman tangan perempuan berparas
teduh ini semakin kencang memegang telapak tangan kanannya, kencang sekali
seolah mau meremas tulang jemarinya. Dia hendak berteriak tapi tak ada suara
yang keluar, ia hendak menangis menahan sakit tapi tak ada air mata yang
menetes, ia hendak berontak mencoba melepaskan diri tapi tak ada tenaga yang
terkumpul. Seolah pasrah saja yang bisa dia lakukan, wajahnya meringis
kesakitan tapi perempuan berparas teduh ini tak peduli, ia tetap mencengkeram
kencang telapak kanannya. Namun anehnya ia mencengkeram sambil tetap tersenyum
dan tak lelah mengajaknya terus berkeliling. Sampai kelamaan darah segar
menetes dari telapak kanannya akibat gesekan cincin emas yang tertekan
genggaman perempuan berwajah teduh itu. Sakitnya bertambah, kini perih sekali telapak
tangan kanannya terlebih saat lukanya tersapu angin berair. Angin di sini
bercampur percikan-percikan air.
Tiba-tiba
langkah kaki perempuan berwajah teduh itu berhenti, tepat di depan telaga air
yang bening airnya. Lalu tiba-tiba saja perempuan berwajah teduh itu menghilang
seketika. Tak ada jejak yang tertinggal, bahkan berpamitan pun tidak. Rasa
takut menggelayuti dirinya, matanya mengendar pandang mencari sosok perempuan
berwajah teduh, tapi nihil karena hamparan padang rumput itu kosong melompong.
Tiba-tiba ia
dikagetkan dengan percikan air dari ikan-ikan yang melompat di telaga. Matanya
menangkap suatu hal yang tak biasa di sana, ada pusaran gelombang air di tengah
telaga. Merasa penasaran, ia pun memutuskan untuk melangkah lebih dekat ke
telaga, namun sayang kakinya terasa berat sekali melangkah, maka ia pun
terpaksa harus berjalan dengan mengesot mendekati telaga air itu. Ajaib! Betapa
tercengangnya ia melihat wajahnya di telaga air kini bebas dari gumpalan-gumpalan
berlendir dan kembali mulus. Dirinya senang bukan kepalang.
“Aku bisa datang
makan malam bersama di Jumat malam…”
Dua
detik kemudian terdengar suara bunyi menggelegar dari terompet yang ditiup.
2014