Minggu, 31 Agustus 2014

MELAWAN TAKDIR



             Ada yang hendak melawan takdir, usia bertambah namun tak mau dianggap tua.  Apalagi dibilang lanjut usia. Padahal sudah lebih setengah abad dia hirup dengan gratis udara di bumi.  Sudah lebih setengah abad pula dia membuka matanya. Namun saat mendengar kata MATI, matanya seolah tak bisa terpejam, udara yang dihirupnya pun seakan tak mau mampir ke hidungnya. Dada sesak, mata kering tak bisa lelap. Pikirannya melayang bukan karena takut MATI, tapi karena dia masih merasa muda dan tak pantas untuk MATI,  masih banyak yang lebih tua dan itu baginya lebih pantas pergi lebih dulu. Rasanya tak adil jika dia harus mati, walau usia sudah lebih setengah abad, tapi jiwanya masih muda “katanya”. Maka segala suntik pun dia lakoni untuk menahan kulit di wajahnya tetap ke atas dengan sempurna, tidak menggelambir apalagi harus mengkirut bergaris macam kulit jeruk yang akan membusuk.
Sayang seribu sayang, cairan kimia itu awalnya memang berhasil membuatnya semakin percaya diri, segala event dan pesta dia datangi bahkan yang tak di undang pun dia hadiri guna memperlihatkan eksistensi diri dan wajah kencangnya yang mulus sempurna. Sampai senyum pun tak pernah pergi sejenak dari wajahnya. Pujian dan rayuan mampir kepadanya, bahkan dia pun sempat berbunga-bunga saat ada lelaki yang baru seminggu menyandang status duda mengajaknya untuk makan malam Jumat depan. Tapi tepat Senin dini hari, dia tak menyadari cairan kimia yang dibilang botox itu tak diterima oleh darah di tubuhnya. Ada perlawanan yang terjadi pada metabolisme tubuh perempuan setengah abad itu. Sampai saat dia berkaca bukan lagi wajah kencang nan mulus yang ada di cermin, tapi lima gumpalan berlendir di wajahnya. Dua di atas matanya, dua di pipi kanan dan kiri, satu di dagu. Betapa kaget dan terkejutnya dia. Tiba-tiba kepalanya sakit dan sulit bernafas. Dari mana gumpalan ini? Apa dia lupa meminum obat? Atau jangan-jangan ada yang hendak berniat jahat padanya dan mengirimkan santet?. Segala macam pikiran jahat berlari, lalu berputar di otaknya. Langsung saja diambil Hp tipe terbaru di atas kasurnya dan menelpon dokter kulit langganannya yang lulusan Amerika Serikat itu. Semua kepanikannya dimuntahkan, kemarahannya dia lepas saja sampai tak sadar emosinya itu justru membuat gumpalan-gumpalan di wajahnya berkedut sampai nyeri.
Betapa tercengangnya sang dokter saat melihat perubahan drastis wajah pasiennya, dari mana gumpalan ini muncul, padahal pasien tak punya riwayat alergi obat dan sebagainya. Namun sebagai dokter, ia harus tetap tenang menghadapi situasi segawat apapun, maka ia pun mencoba tetap tersenyum mencari solusi terbaik bagi pasien setianya. Ia segera menulis resep obat dan meminta sang pasien untuk menebusnya di apotek terdekat. Bukan obat paten penghilang gumpalan tapi hanya sekedar obat penghilang rasa nyeri sebagai tahap awal. Dua hari berikutnya gumpalan sedikit mengempes dan nyeri perlahan mulai berkurang, ia masih punya waktu tiga hari untuk meyembuhkan gumpalan di wajahnya sebelum acara makan malam bersama Duda baru di Jumat malam. Berharap bisa sembuh lebih cepat maka dia pun meminum obat itu lebih dari yang dianjurkan dokter. Tak ada gejala yang aneh di awal tapi kelamaan lambungnya perih, perutnya seperti dikuras. Cairan hijau kekuningan keluar dari mulutnya bersama darah, dia pun hilang kesadaran. 
Sang dokter kulit lulusan Amerika Serikat tak tahu pasien setianya masuk ICU, ia sedang berlibur di luar negeri di Pantai Hawaii menikmati hasil keringatnya berjualan obat awet muda di negerinya. Sudah seminggu perempuan berusia setengah abad itu tak sadarkan diri koma di Rumah Sakit dan sang Duda baru pun sampai bingung gebetan barunya itu tak bisa dihubungi, maka otak kreatifnya memunculkan ide segar. Dia memutuskan untuk mengajak perempuan tua lain yang kaya raya sebagai ganti teman makan malamnya. Walau  tak secantik gebetan sebelumnya tapi cukup lumayan, menghilangkan cemasnya karena khawatir cairnya uang asuransi almarhum istrinya tak bisa menutupi hutangnya di bank. Beruntunglah perempuan mengiyakan ajakan makan malamnya karena sayang katanya jika dibatalkan.
Dunia yang dia tempati sekarang terasa asing baginya, tak ada yang dia kenal. Maka dia pun hanya duduk saja di bawah pohon dengan wajah menunduk seolah ada sesal yang menumpuk sampai menggunung di dadanya. Ia sedih dan sedikit gemetar, ada perasaan takut yang menyelimuti dirinya sekarang, tapi ia tak tahu takut karena apa. Dadanya terasa berat selah ada tumpukan batu yang menindihnya. Maka kepalanya menunduk semakin dalam, ia tak berani mendongakkan kepalanya lalu melihat sekitar. Sampai lalu ada yang menepuk pundaknya pelan. Senyum mengembang dengan tulus darinya, siapa perempuan berparas teduh di depannya sekarang? Tanpa basa-basi perempuan berparas teduh ini menggandeng tangannya lalu mengajaknya berkeliling. Dan dia masih tetap menunduk awalnya, namun semakin jauh kakinya melangkah, semakin berat terasa tubuhnya seolah kaki tak mampu melangkah lagi karena terlalu berat menopang bobot tubuhnya. Hanya hamparan rumput dengan satu dua pohon besar yang meneduhkan dan hanya ada dia dan perempuan berparas teduh di sana.
Kebingungan mulai merayapi pikirannya, hendak dibawa kemana dia. Tak ada orang lain di padang rumput sebesar ini, hanya sekumpulan kupu-kupu berwarna emas di balik bunga dan pohon besar. Namun lama-kelamaan genggaman tangan perempuan berparas teduh ini semakin kencang memegang telapak tangan kanannya, kencang sekali seolah mau meremas tulang jemarinya. Dia hendak berteriak tapi tak ada suara yang keluar, ia hendak menangis menahan sakit tapi tak ada air mata yang menetes, ia hendak berontak mencoba melepaskan diri tapi tak ada tenaga yang terkumpul. Seolah pasrah saja yang bisa dia lakukan, wajahnya meringis kesakitan tapi perempuan berparas teduh ini tak peduli, ia tetap mencengkeram kencang telapak kanannya. Namun anehnya ia mencengkeram sambil tetap tersenyum dan tak lelah mengajaknya terus berkeliling. Sampai kelamaan darah segar menetes dari telapak kanannya akibat gesekan cincin emas yang tertekan genggaman perempuan berwajah teduh itu. Sakitnya bertambah, kini perih sekali telapak tangan kanannya terlebih saat lukanya tersapu angin berair. Angin di sini bercampur percikan-percikan air.
Tiba-tiba langkah kaki perempuan berwajah teduh itu berhenti, tepat di depan telaga air yang bening airnya. Lalu tiba-tiba saja perempuan berwajah teduh itu menghilang seketika. Tak ada jejak yang tertinggal, bahkan berpamitan pun tidak. Rasa takut menggelayuti dirinya, matanya mengendar pandang mencari sosok perempuan berwajah teduh, tapi nihil karena hamparan padang rumput itu kosong melompong.
Tiba-tiba ia dikagetkan dengan percikan air dari ikan-ikan yang melompat di telaga. Matanya menangkap suatu hal yang tak biasa di sana, ada pusaran gelombang air di tengah telaga. Merasa penasaran, ia pun memutuskan untuk melangkah lebih dekat ke telaga, namun sayang kakinya terasa berat sekali melangkah, maka ia pun terpaksa harus berjalan dengan mengesot mendekati telaga air itu. Ajaib! Betapa tercengangnya ia melihat wajahnya di telaga air kini bebas dari gumpalan-gumpalan berlendir dan kembali mulus. Dirinya senang bukan kepalang.
“Aku bisa datang makan malam bersama di Jumat malam…”
            Dua detik kemudian terdengar suara bunyi menggelegar dari terompet yang ditiup.

2014