Senin, 27 Oktober 2014

NIKMAT ATAU BENCANA






“Semua nikmat yang tidak mendekatkan pada Allah, maka hakikatnya adalah bencana” (Abu Hazim)

JLEB! Kata-kata di atas sungguh menyadarkanku hakikat nikmat yang sesungguhnya. Apa yang dimaksud dengan nikmat? Apa nikmat itu hanya materi? Atau nikmat apa yang sesungguhnya benar-benar nikmat.

Sungguh semua manusia di planet biru ini butuh nikmat. Tak terkecuali binatang dan tumbuhan. Ada yang berpikiran bahwa nikmat itu ya materi, bisa punya rumah besar, mobil mewah,tabungan banyak, usaha lancar maju, rezeki banyak dan lain-lain. Ada juga yang mengatakan nikmat itu nggak melulu tentang materi, tapi nikmat bisa ibadah dengan mudah, nikmat kesehatan, nikmat bisa kumpul sama keluarga, nikmat bisa bahagia

Pantas saja, banyak orang-orang yang sudah berkucuran dan bergelimang nikmat tapi terlihat sendu menderita. Bahagianya tak sempurna, sukanya pun penuh curiga, tenangnya juga tak lama, dahaga jiwanya selalu haus dan merasa kurang tak pernah cukup. Contoh nyatanya beberapa orang kaya dan terkenal itu justru mengakhiri hidup dengan cara tragis dan menyiksa diri. Mereka mati bunuh diri, entah itu gantung diri, minum racun, ngedrugs, overdosis dan lain-lain. 

Secara kasat mata ya fren, dia udah punya segalanya dari esensi sebuah kebahagiaan. Mau apa saja tinggal ngedip, langsung datang. Mau ini itu tinggal gesek, butuh sesuatu tinggal perintah. Duit banyak cin, bahkan ada lemari plus kamar khusus buat simpan duit-duitnya. Kemewahan dan segala rupa kenikmatan dunia sangat dekat dan akrab dengan dirinya. Tapi kok ya, bisa-bisanya mati bunuh diri.

Lalu, pantas saja jikalau Abu Hazim mengatakan jika nikmat yang dimiliki justru membuat kita semakin jauh pada pemilik ruh dalam raga ini, maka hakikat  yang sesungguhnya adalah bencana. Sebuah kemegah-megahan sangat amat mudah melalaikan, kemegahan atas dunia yang sejatinya bersifat fana. Kemegahan yang diukir dengan sangat mengagumkan dan melenakan hati yang memandang sampai lalu lalai yang ada.

Lalai berlanjut dengan lupa, khilaf dan acuh, baik atas diri sendiri juga orang lain. Lalai, khilai dan acuh yang jika tak cepat dibenahi dan tak juga mau disadari maka kemudian yang ada kering hati dan gersang jiwa. Tak dapat melihat cahaya hakiki yang sejati, berada di tempat gelap tapi merasa terang benderang, merasa sepi sendiri padahal berada di tengah keramaian, menderita sendiri padahal berada pada suasana keriangan.  Semua PALSU! Laksana fatamorgana di gurun pasir.  Saat semua sudah didapat, dan semuanya sudah dimiliki tapi yang terjadi justru bukan bahagia yang hakiki tapi keringnya hati yang semakin menjadi-jadi.

 “Diantara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya” (Hadist Hasan diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya)