Cinta memang tak bisa
selalu memiliki, cinta juga tak bisa selalu dekat dan bersama. Tapi bisa selalu
bermesra dan berdua dengan yang dicinta adalah indah adanya. Namun tak semua
yang kita ingini bisa menjadi nyata dan terwujud sempurna. Baik saja berharap
seperti itu, menabur asa segala rupa ingin ini dan itu, mau ini dan menolak
yang itu. Tak ada yang melarang dan tak ada pula yang memaksa, hanya kadang
terbatasnya nalar manusia membuat semua asa dan maunya selalu ingin dituruti,
padahal tak semua inginnya sesuai dengan kebutuhan.
Ego manusia terlalu
besar, untuk itu sampai Allah pun bilang jihad terbesar adalah melawan nafsu
diri sendiri. Sampai-sampai saat yang diharap dan dipuja sudah berada di depan
mata pun ditolak mentah karena ego diri yang sudah bercampur luka, kecewa, dan
dendam. Ini adalah sedikit gambaran kisah cinta antara Engku Zainudin
dan Hayati dalam “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” sebuah novel sastra karya Buya
Hamka
Rasa cinta yang mengakar
kuat di hati engku Zainudin, seorang pemuda biasa yang tak berharta pada Hayati
perempuan desa keturunan bangsawan Minang. Saling berjanji dan berharap bisa
hidup bersama, merajut keluarga penuh suka cita. Namun, di tengah perjalanan
tiba-tiba Hayati terpaksa memilih laki-laki lain dengan alasan harta dan tahta,
yang tak dimiliki oleh Engku Zainudin. Sampai lalu, Engku Zainudin kecewa dan
terluka luar biasa. Sakit berbulan-bulan menderita fisik dan batin, merana
sendiri, tak ada yang peduli dan memutuskan pergi dari kampung halamannya untuk
merantau dan melupakan Hayati.
Bertekad dan terus
bekerja keras bahwa akan ada perubahan jika terus bergerak, harta yang tak
dimilikinya dulu kini perlahan datang dan melingkupi hidupnya. Rasa kecewa akan
cintanya dan luka akan penghianatan janji yang dicintainya membuat lecutan besar
dalam diri Engku Zainudin untuk terus menghasilkan karya. Dan ternyata karyanya
ini laku di pasaran. Banyak peminat kisah-kisah nyata dan khayalannya, mungkin
pembacanya merasa senasib atau kasihan semata, yang jelas ini membuatnya kaya raya
penuh harta. Sampai terpandang dirinya
kini, tak lagi dianggap remeh temeh karena tak kaya.
Tak ada yang tahu
misteri hidup manusia di masa depan. Hayati yang berharap bisa bahagia bersama
suaminya justru malah hidup menderita. Hutang menumpuk sana-sini, membuat suami
Hayati memutuskan menulis wasiat sebelum mati bunuh diri. Wasiat yang berisi
menyerahkan Hayati pada cinta pertamanya, namun sayangnya Engku Zainudin sang
pujangga ini justru menolak Hayati yang telah disodorkan suaminya sendiri.
Padahal Hayati telah
mengiba meminta maaf ribuan kali pada sang pujangga, atas khilaf dirinya di
masa lalu, berharap bisa diterima kembali. Hayati menyesal sekali, akan pilihan
hidupnya yang dulu. Jikalau ia tahu masa
depannya akan seperti ini, maka ia tidak akan memilih hidup dengan harta kaya.
Tapi memilih setia bersama sang pujanga walau tak ada harta tapi berlimpah
cinta di dalamnya.
Namun nasi telah menjadi
bubur, sang pujangga masih sakit hatinya. Bekas lukanya belum kering, karena
pisaunya menusuk terlalu dalam. Sampai ia sendiri pun tak tahu kapan sembuh
luka hatinya. Dan akhirnya Hayati malah diacuhkannya, tak dipedulikan walau
salah telah diakuinya. Tapi Hayati juga tahu, salahnya pada sang pujangga
terlalu besar maka wajar saja jika gayung tak bersambut merdu. Maka ia pun
memutuskan mundur dan tak lagi berharap
pada cinta pertamanya yang dulu. Hayati memilih naik kapal untuk kembali ke
kampung halaman, mencari bahagianya yang hilang dan mengubur rasa sesalnya atas
peristiwa yang dulu.
Sayangnya kapal Van der
Wijck yang ditumpangi Hayati tenggelam, banyak korban di sana. Sang pujangga
yang mendengar kabar ini pun kalang kabut, seperti diburu nafsu ia mengebut
kemudi untuk bisa bertemu Hayati. Berharap Hayati bisa selamat lalu hidup setia
dengannya. Tapi fakta yang ada Hayati sekarta tak lagi bisa bernafas sempurna,
banyak luka di badannya. Bahkan untuk membuka mata saja sulit. Sang pujangga
menuntun dan menguatkannya untuk bisa mengucapkan kalimat syahadat di akhir
hidupnya. Tak lama bibirnya mengucap syahadat, nafas itu pun hilang dan raganya
tak lagi bernyawa.
Hayati berpulang, sang
pujangga menyesali segalanya. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, akan takdir
maut yang dicintainya. Lalu sang pujangga ini memilih mengenang cintanya pada
Hayati dengan caranya sendiri. Ia ingin membahagiakan Hayati yang telah berbeda
dunia dengannya kini dengan cara berbagi. Mengubah rumah istananya untuk dibuat
panti, buat mereka para anak-anak yatim dan anak-anak tak beruntung yang
ditelantari oleh orang tua sendiri.
Tak ada yang perlu
disesali atas cinta yang tak bisa kau miliki, biar saja itu pergi, walau sakit
harus terlewati agar berlalu. Tapi tunggu, janganlah kau meragu, yakin saja
dulu akan ada masa dimana waktu akan membuatmu tahu. Bahwa cinta yang tak bisa
kau miliki adalah tanda dari Sang Maha Tahu kalau itu bukanlah jalan untukmu. Maka jangan kau paksa lewat situ, karena banyak batu bukan cuma satu tapi beribu-ribu. Sampai akhirnya barulah
kau tercenung sadar dan membisu, bahwa aturan dariNya untuk mahluk yang telah
diciptakanNya adalah bukan sunnah tapi Fardhu.