“Semua
nikmat yang tidak mendekatkan pada Allah, maka hakikatnya adalah bencana” (Abu
Hazim)
JLEB!
Kata-kata di atas sungguh menyadarkanku hakikat nikmat yang sesungguhnya. Apa
yang dimaksud dengan nikmat? Apa nikmat itu hanya materi? Atau nikmat apa yang
sesungguhnya benar-benar nikmat.
Sungguh
semua manusia di planet biru ini butuh nikmat. Tak terkecuali binatang dan
tumbuhan. Ada yang berpikiran bahwa nikmat itu ya materi, bisa punya rumah
besar, mobil mewah,tabungan banyak, usaha lancar maju, rezeki banyak dan
lain-lain. Ada juga yang mengatakan nikmat itu nggak melulu tentang materi,
tapi nikmat bisa ibadah dengan mudah, nikmat kesehatan, nikmat bisa kumpul sama
keluarga, nikmat bisa bahagia
Pantas saja,
banyak orang-orang yang sudah berkucuran dan bergelimang nikmat tapi terlihat
sendu menderita. Bahagianya tak sempurna, sukanya pun penuh curiga, tenangnya
juga tak lama, dahaga jiwanya selalu haus dan merasa kurang tak pernah cukup. Contoh
nyatanya beberapa orang kaya dan terkenal itu justru mengakhiri hidup dengan
cara tragis dan menyiksa diri. Mereka mati bunuh diri, entah itu gantung diri,
minum racun, ngedrugs, overdosis dan lain-lain.
Secara
kasat mata ya fren, dia udah punya segalanya dari esensi sebuah kebahagiaan.
Mau apa saja tinggal ngedip, langsung datang. Mau ini itu tinggal gesek, butuh
sesuatu tinggal perintah. Duit banyak cin, bahkan ada lemari plus kamar khusus
buat simpan duit-duitnya. Kemewahan dan segala rupa kenikmatan dunia sangat
dekat dan akrab dengan dirinya. Tapi kok ya, bisa-bisanya mati bunuh diri.
Lalu,
pantas saja jikalau Abu Hazim mengatakan jika nikmat yang dimiliki justru
membuat kita semakin jauh pada pemilik ruh dalam raga ini, maka hakikat yang sesungguhnya adalah bencana. Sebuah
kemegah-megahan sangat amat mudah melalaikan, kemegahan atas dunia yang
sejatinya bersifat fana. Kemegahan yang diukir dengan sangat mengagumkan dan melenakan hati
yang memandang sampai lalu lalai yang ada.
Lalai
berlanjut dengan lupa, khilaf dan acuh, baik atas diri sendiri juga orang lain. Lalai, khilai dan acuh yang jika tak cepat dibenahi dan
tak juga mau disadari maka kemudian yang ada kering hati dan gersang jiwa. Tak
dapat melihat cahaya hakiki yang sejati, berada di tempat gelap tapi merasa terang
benderang, merasa sepi sendiri padahal berada di tengah keramaian, menderita
sendiri padahal berada pada suasana keriangan.
Semua PALSU! Laksana fatamorgana di gurun pasir. Saat semua sudah didapat, dan semuanya sudah
dimiliki tapi yang terjadi justru bukan bahagia yang hakiki tapi keringnya hati
yang semakin menjadi-jadi.
“Diantara (tanda) kebaikan Islam seseorang
adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya” (Hadist Hasan
diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya)