Rahasia Jodoh
Cantik, pintar dan yang paling penting berjilbab…
Kata-kata itu terus terngiang dalam otakku, pikiranku
melayang bebas mencari apa aku punya teman yang seperti dia maksud itu?
Tiba-tiba, suara Alif mengagetkan lamunanku.
“Maaf, membuat
lama menunggu…”
Alif menarik bangku di depanku dan tanpa basa-basi
dengan wajah penuh ceria. Ia langsung bercerita tentang cita-citanya untuk bisa
menikah dengan perempuan berjilbab sesuai permintaan almarhumah ibunya yang
meninggal sekitar satu tahun yang lalu.
“Nin, gimana apa kamu sudah
menemukan perempuan seperti yang aku maksud?”
Aku segera menghentikan
menyeruput jus alpukat saat Alif kembali menanyakan perkembangan pencarian
jodoh untuknya itu.
“Belum, masih hunting.
Nanti kalau aku sudah klop pasti dikabari secepatnya! Gak sabaran banget sih,
kayanya…”
Bibirnya kembali tersenyum
saat kuledek, masalah yang sangat ironis. Aku
dipaksanya mencarikan jodoh untuknya sedangkan aku saja belum punya
pasangan. Tapi demi persahabatan yang telah lama terjalin sejak di bangku
kuliah. Aku rela saja dimintakan tolong mencarikannya perempuan berjilbab
seperti yang ia maksud.
“Tapi, ngomong-ngomong aku
jadi tak enak Nin. Minta tolong kamu sedangkan kamu saja belum menikah.
Bagaimana kalau aku kenalkan dengan teman sekantorku?” tawar Alif semangat
Segera saja aku
menggeleng tak selera.
“Terima kasih Lif, aku bisa
cari sendiri…”
Melihat responku yang berubah ill feel,
Alif terlihat tak enak hati. Ia pun kembali mengalihkan pembicaraan ke topik
awal. Gaya bicaranya begitu semangat, ditambah humor-humor segarnya yang
membuatku tak bosan mendengarkan cita-cita terpendam almarhumah ibunda
tercintanya itu.
“Sebulan sebelum ibu
meninggal, malam-malam ibu menelphonku. Katanya, calon perempuan berjilbab yang
hendak ibu jodohkan untukku telah dilamar orang lain. Sontak saja, aku
tersenyum lega karena beban itu hilang. Namun, beberapa detik kemudian, suara
ibu terdengar parau seperti menahan tangis…”
“Ibu mau kamu menikah sebelum
ibu pergi selamanya…”
“Setelah itu Ibu mematikan
telephonnya. Aku pun menjadi tak bisa tidur setelah menerima telephon dari ibu.
Sebelum ibu benar-benar pergi desakannya kepadaku untuk segera menikah aku
anggap seperti angin lewat saja. Aku masih ingin bersenang-senang dengan
kebebasan. Aku tak mau diatur istri dan suara rewel anak kecil. Namun, sejak
Allah memanggilnya keinginan itu menjadi beban berat yang harus segara aku
penuhi. Aku tak mau membuatnya tak tenang, aku ingin membuatnya tersenyum
melihatku bisa segera menikah dan memberinya cucu…”
Tak terasa malam sudah larut,
sebenarnya mata ini sudah sangat mengantuk. Namun, entah kenapa aku begitu
asyik mendengar curahan hatinya? Hingga, tak sadar sudah hampir satu jam lebih
kita mengobrol. Mungkin, karena memang sudah tiga tahun belakangan ini kami loss
contact karena ia tinggal jauh di luar kota dan suatu kebetulan saat aku
sedang berbelanja buku ternyata ia pun melakukan hal yang sama juga. Jadilah,
ini menjadi reuni untuk kami.
***
Nin, maaf sms pagi-pagi gini. Setelah mengobrol semalam.
Aku terus berpikir untuk bisa menerima kriteria calon pasanganku apa adanya.
Perempuan itu tak perlu cantik fisik asalkan baik agamanya bagiku itu sudah
cukup
Sms Alif menyambut pagiku hari
ini, baru saja kubuka mata otakku langsung berputar berpikir mencari perempuan
seperti yang dia maksud. Saat sedang berpikir, tiba-tiba Kiara adikku mengetuk
pintu membangunkan shalat subuh.
“Ka, bangun! Sudah subuh…”
Aku segera beranjak dari
tempat tidur dan membuka pintu, agar Kiar berhenti berteriak membangunkanku.
“Iya, cerewet…”
Bibir Kiara menyunggingkan
senyum saat melihatku dengan mata sepet dan rambut berantakan masih bisa
meledeknya yang sudah rapih dengan mukena putih bersulam bunga warna-warni.
“Aku, tunggu di bawah ya Ka!”
Setelah pulang empat bulan yang
lalu dari Bandung, ia menjadi sosok berbeda bagiku. Perubahannya sungguh sangat
drastis dengan kerudung yang tak pernah lepas dari kepalanya. Aku segera berwudhu dan menuju ruang musalah
yang di sana Ayah dan Ibu sudah bangun lebih dulu. Suara salawat sambil
menunggu adzan subuh menjadi kegiatan rutin keluarga dan Kiara dengan kebiasaan
barunya itu mendesakku untuk turut serta walau sempat kesal pada awalnya, tapi
lama-kelamaan asik juga karena aku jadi tak pernah telat masuk kantor. Walau
aku belum bisa seperti Kiara seutuhnya, tapi aku perlahan mau mencobanya. Hidup
kan butuh proses.
“Gimana Nin, apa kamu sudah
punya calon?”
Ibu membuka obrolan pagi ini
dengan hal yang paling aku tidak suka di meja makan. Dan aku pun segera
mengalihkan pembicaraan.
“Ra, kamu jadi mau ke
Bandung?”
Kiara senyam-senyum sendiri
melihat tingkah serba salahku menanggapi pertanyaan Ibu.
“Jadi Ka, mungkin dua sampai
tiga bulan aku di sana”
“Lama banget, ngapain saja?”
“Ya, bantu-bantu di LSM
sekalian juga ada urusan untuk daftar kuliah S2…”
“Bagus itu, sebenarnya Kaka
juga mau daftar nerusin sekolah. Tapi sudah keenakan kerja jadi males mikirin tugasnya…”
“Mikir tugas apa mikir calon
suami?” sindir Ibu
Segera saja aku memasang wajah
jutek dan semua yang ada di meja makan terlihat tersenyum meledek.
***
“Nin, ada cowok yang cariin kamu di bawah”
Tari menaikkan bahunya saat
aku menanyakan siapa yang datang mencariku di jam makan siang seperti ini.
Terlebih banyak kerjaan menumpuk yang harus dikerjakan membuatku dikejar death
line dan tanggung jawab yang berat ini harus bisa diselesaikan sebelum
atasan menegur.
Untuk mempercepat waktu, aku
putuskan turun tangga saja kebetulan gedung perkantoranku hanya bertingkat lima
jadi tak terlalu buang energi. Sosok laki-laki berkemeja putih bergaris biru
dan dasi biru yang membalut tubuh tinggi tegapnya berdiri di depan meja receptionist.
Nampak, seperti eksekutif muda. Tak ada kekurangan jika dilihat sekilas, namun
dibalik itu semua ada beban yang belum bisa terselesaikan. Senyum lebar
dilemparkannya saat melihatku sedang menuruni tangga.
“Maaf Nin kalau ganggu…”
“Gak apa-apa. Ada yang bisa
dibantu?”
“Banyak, gak enak kalau ngomong di sini. Kamu sudah makan siang?”
Aku menggeleng dan wajah putih
bersihnya itu kembali tersenyum. Segera saja ia mengajakku ke restoran dekat
kantor yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Untuk sedikit refresing aku
menurut saja. Mumpung gratisan…
Alif memesan ayam bakar dengan
orange juice dan kebetulan selera kami sama.
“Gimana, Nin dah ada
calonnya?”
“Emm, sebenarnya kriteria
cewek yang kamu maksud itu, ada sama teman kantorku”
“Terus?”
“Ya, dia baik, ramah, pinter
dan yang paling penting dia berjilbab tapi sayang…”
Belum sempat aku meneruskan
pembicaraan, Alif sudah memotong lebih dulu. “Lalu, kenapa dari tadi kamu gak
bilang? Kan biar aku langsung bisa ketemuan sama dia…” Raut wajah Alif sangat
bersemangat mendengar penuturanku
Aku cuma senyam-senyum sendiri
melihat raut bahagia Alif
“Malah ketawa… senang ya? Kalau temannya jadi perjaka tua”
“Bukan gitu Lif, aku kan belum
meneruskan omonganku. Kamu maen nyerobot aja”
“Ya, habis kamu terlalu
santai. Kita harus bergerak cepat kalau untuk masalah seperti ini”
“Ngomong-ngomong, namanya
siapa Nin?”
“Dinda”
“Nama yang manis”
“Apa aku telphon dia aja ya?
Ah, kesannya terlalu main-main, aku kan mau serius jadi langsung to the point
aja, face to face…” ucapnya
dengan raut wajah penuh kebahagiaan dan semangat 45nya
Aku semakin geli tapi juga
kagum melihat tingkah Alif yang semangat menikahnya telah berkobar-kobar
laksana prajurit mau siap tempur. Ditambah muka cutenya tiba-tiba menghilang
dan berubah jadi muka seorang sales yang merengek agar dagangannya dibeli
karena sudah seminggu gak laku-laku
“Alif… Alif, aku kan belum
nerusin omonganku. Kamu malah udah nyusun rencana duluan”
“Kenapa? Bukannya malah
bagus…”
“Iya, tapi Dinda temanku itu
sudah menikah dan punya anak dua”
Sungguh, aku jadi tak enak
hati melihat perubahan drastis wajah Alif, kini berubah lesu tak bergairah.
Tatapan matanya terlihat kosong.
“Lif, sabar! Cari jodoh kan
gak semudah beli sayuran di pasar. Mesti selektif”
Alif diam tak merespon
ucapanku. Matanya menerawang lalu menunduk. Tangannya mengepal keras, guratan
urat tangannya terlihat jelas. Apa dia marah? Sungguh aku tak bermaksud
bercanda.
“Kamu tahu Nin, aku minta
tolong dicarikan perempuan berjilbab untuk jadi istriku. Bukan sama kamu aja.
Semua teman kantor, kuliah sudah aku hubungi dan aku mintakan tolong. Tapi, apa
hasilnya nihil. Aku sering melakukan perkenalan, temanku bilang ta’aruf.
Tapi, mereka kebanyakan menolak dengan alasan karena aku tak pandai dalam
masalah agama, shalatku jarang, bahkan doa untuk orang tua saja aku tidak
hafal. Justru, aku ingin dibimbing oleh istriku kelak, diajarkan mengaji,
shalat…”
“Selalu seperti itu, aku sengaja berkata jujur
dan tidak menyembunyikan kekuranganku itu agar tidak ada penyesalan nantinya.
Apa harus aku bohong atas kelemahanku ini?”
“Sungguh Nin, aku ingin bisa
menjadi manusia yang lebih baik, memang penyesalan itu datangnya terakhir.
Dulu, aku menganggap semua hal yang berbau agama itu kampungan dan norak. Tapi,
semenjak Ibu meninggal aku baru sadar kalau ternyata dunia bukan segalanya yang
harus dikejar. Aku sering melihat orang meninggal, namun perasaanku dulu biasa
saja. Setelah Ibu, orang yang sangat kucintai meninggal perasaan itu berubah
180 derajat aku sangat terpukul. Ia menulis surat untukku, intinya ia ingin aku
belajar agama dan menikah khususnya dengan perempuan berjilbab. Terakhir dalam
suratnya, ia bilang menungguku di surga, Ibu memang perempuan yang sangat
solehah makanya saat ia meninggal banyak sekali air mata dan doa yang mengiringi
kepergiannya, saat itu hatiku hancur tak ada yang bisa aku lakukan selain
menyesal dan menangis, aku tak bisa berdoa karena terlalu lama bibir ini
terkunci. Aku tak bisa ikut menyolatkan karena badan ini telah kaku dan lupa
akan semuanya”
Tak terasa air mataku menetes
mendengarnya, wajahnya terlihat sangat serius dan lesu. Ia menunduk dan tak
menatapku saat bicara hanya menunduk. Ucapannya tadi dari lubuk hati
terdalamnya yang akhirnya menjadi ganjalan yang belum ditemukan titik temu.
“Kenapa,
kamu gak coba belajar agama dengan ustad?” usulku pelan
“Sudah
Nin, tapi karena sudah tua gini belajarnya ya seperti menulis di atas air”
“Aku
ingin diajarkan oleh istriku, kan kalau diajari sama orang yang disayangi bisa
lebih semangat dan mudah masuknya. Kita bisa belajar sama-sama, indah banget ya
Nin? Kalau bisa punya keluarga sakinah?”
Aku
mengaangguk dan tersenyum mendengar pertanyaannya. Mimpinya sama dengan semua
orang dan salah satunya aku. Tapi, entah kenapa aku belum berniat menikah
banyak hal yang ingin aku lakukan. Walau, kadang aku merasa tersindir.
“Nin,
Kadang, aku merasa pencarian jodoh ini terasa sia-sia dan ingin mengakhirinya
saja. Tapi, aku ingin banget bisa memenuhi mimpi Ibu. Aku gak mau lagi membuat
ibu kecewa. Ya, kalau jodoh kan gak lari kemana…”
***
“Ra,
kamu mau gak nikah sama laki-laki yang pengetahuan agamanya lebih sedikit dari
kamu tapi dia mau belajar?”
Kiara
sedang mengetik di depan komputer saat aku masuk ke kamarnya. Lalu, tiduran di
atas kasurnya yang sepreinya selalu tertata rapih dan bersih.
“Siapa?”
Kiara berhenti mengetik dan berpaling melihatku
“Ada
deh…”
“Emm…
gak tahu juga. Tapi, kalau bisa yang agamanya lebih bagus dari kita donk jadi
dia bisa membimbing kita. Kan gak lucu kalau istri yang membimbing. Masa yang
mau jadi imam shalat istrinya?!” Kiara tersenyum. Aku jadi ikutan senyum. Iya
juga sih. Masa yang mau jadi imam shalat
istrinya…?!
“Tapi
Ra, laki-laki itu punya semangat belajar yang tinggi lho…”
“Ya,
bagus, dia bisa belajar agama dulu sama ustad. Nah, kalau sudah mantep baru
deh nikah”
“Tapi
Ra” aku merubah posisi menjadi duduk bersila di pinggir kasur dan Kiara kembali
menghentikan sejenak mengetiknya.
“Kalau
belajar sama istri, perempuan yang disayangi kan biasanya lebih mudah. Jadi,
belajarnya pas nikah aja”
“Itu
juga gak salah. Tapi, alangkah lebih baiknya. Laki-laki itu harus lebih
memantapkan dasar agamanya dulu supaya dia tahu cara membentuk keluarga
sakinah, agar dia tahu tugas dan kewajibannya juga sebagai suami”
“Masalah itu kan bisa
sama-sama dimusyawarahkan kalau sudah nikah”
“Biasanya, sebelum melangkah lebih jauh kita dan calon pasangan harus
menyamakan visi dan prinsip dulu. Biar nanti, ke depannya gak kecewa dan lebih
enak menjalaninya”
“Jadi, gitu selama ini alasan
para perempuan berjilbab itu menolak lamarannya Cuma karena dia gak kuat
pengetahuan agamanya. Padahal, sifat dan tingkah lakuya menurutku jauh lebih
baik dari orang-orang yang pengetahuan agamanya lebih banyak dari pada dia.
Menurutku itu gak adil, dia sudah berusaha. Tapi, gak bisa juga dia ditolak
Cuma karena masalah itu. Kalau setiap perempuan berjilbab mengharapkan calon
suami seperti itu kapan dia bisa menyebarkan kebaikan agamanya pada orang di
luar dirinya. Seharusnya, dia bisa mengajak orang yang belum baik secara
agamanya menjadi lebih baik dan mau menerima apa adanya. Kan sudah ada niat
yang baik, tapi kenapa niat itu dipandang sebelah mata” aku sungguh berapi-api
mengutarakan pendapat hingga Kiara menatap serius dan tak berbicara
mengomentari.
“Laki-laki yang kaka maksud
itu siapa?”
Aku diam saja tak menjawab
pertanyaan Kiara. Aku masih kesal, kenapa kebanyakan muslimah berpikir seperti
itu. Sempit sekali pemikirannya. Batinku kesal.
“Ka…” Kiara memegang tanganku
dan duduk di sebelah
“Pendapat Kaka benar, gak ada
yang salah. Kita gak berhak mengatakan orang itu salah dengan pemikirannya
karena memang itu haknya. Jika, itu pilihan dan keputusannya kita mau apa
dengan prinsip orang itu. Toh, hidup itu pilihan kan? Dan teman kaka maupun
perempuan berjilbab itu juga gak ada yang salah. Namun, menjadi salah jika
pernikahan yang sejatinya adalah untuk menyempurnakan agama kita dan ibadah itu
dikotori dengan tidak adanya rasa keikhlasan dalam diri orang yang menjalani”.
***
Pagi-pagi hpku sudah
berdering. Saat keluar dari kamar mandi mengambil wudhu untuk shalat subuh. Ada
nomor pribadi yang terpampang dilayar hp.
“Assalamualaikum…” suara
laki-laki yang terdengar asing di telingaku
“Walaikumsalam… siapa ya?” tanyaku penasaran
“Saya Andi, Nin”
“Andi?”
“Teman waktu di SMA dulu”
logat bicaranya terdengar kental sekali dialek Jawanya
“Oh, Andi…”
Aku baru ingat, kalau aku
punya teman Andi. Waktu itu, dia ketahuan pakai jimat yang dikalungkan di
lehernya saat ujian EBTA. Katanya, itu dari Mbahnya di kampung yang masih
sangat kental budaya kejawennya.
“Nin, semalam aku mimpi
dipatuk ular. Kata Mbahku itu berarti pertanda mau nikah. Semalamnya aku habis
lihat-lihat album SMA. Terus kenapa tiba-tiba, pikiranku terpusat sama photo
kamu ya? Aku juga gak tahu. Apa ini bisa diartikan kalau kita ini berjodoh ya
Nin???”
Tiba-tiba, aku terasa
tersengat listrik lima watt…
*
Mei 16th 08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar