Jumat, 25 April 2014

FIKSI: CERITA PENDEK



Rahasia  Jodoh

Cantik, pintar dan yang paling penting berjilbab…
Kata-kata itu terus terngiang dalam otakku, pikiranku melayang bebas mencari apa aku punya teman yang seperti dia maksud itu? Tiba-tiba, suara Alif mengagetkan lamunanku.
 “Maaf, membuat lama menunggu…”
Alif menarik bangku di depanku dan tanpa basa-basi dengan wajah penuh ceria. Ia langsung bercerita tentang cita-citanya untuk bisa menikah dengan perempuan berjilbab sesuai permintaan almarhumah ibunya yang meninggal sekitar satu  tahun yang lalu.
“Nin, gimana apa kamu sudah menemukan perempuan seperti yang aku maksud?”
Aku segera menghentikan menyeruput jus alpukat saat Alif kembali menanyakan perkembangan pencarian jodoh untuknya itu.
“Belum, masih hunting. Nanti kalau aku sudah klop pasti dikabari secepatnya! Gak sabaran banget sih, kayanya…”
Bibirnya kembali tersenyum saat kuledek, masalah yang sangat ironis. Aku  dipaksanya mencarikan jodoh untuknya sedangkan aku saja belum punya pasangan. Tapi demi persahabatan yang telah lama terjalin sejak di bangku kuliah. Aku rela saja dimintakan tolong mencarikannya perempuan berjilbab seperti yang ia maksud.
“Tapi, ngomong-ngomong aku jadi tak enak Nin. Minta tolong kamu sedangkan kamu saja belum menikah. Bagaimana kalau aku kenalkan dengan teman sekantorku?” tawar Alif semangat
Segera saja aku menggeleng tak selera.
“Terima kasih Lif, aku bisa cari sendiri…”
 Melihat responku yang berubah ill feel, Alif terlihat tak enak hati. Ia pun kembali mengalihkan pembicaraan ke topik awal. Gaya bicaranya begitu semangat, ditambah humor-humor segarnya yang membuatku tak bosan mendengarkan cita-cita terpendam almarhumah ibunda tercintanya itu.
“Sebulan sebelum ibu meninggal, malam-malam ibu menelphonku. Katanya, calon perempuan berjilbab yang hendak ibu jodohkan untukku telah dilamar orang lain. Sontak saja, aku tersenyum lega karena beban itu hilang. Namun, beberapa detik kemudian, suara ibu terdengar parau seperti menahan tangis…”
“Ibu mau kamu menikah sebelum ibu pergi selamanya…”
“Setelah itu Ibu mematikan telephonnya. Aku pun menjadi tak bisa tidur setelah menerima telephon dari ibu. Sebelum ibu benar-benar pergi desakannya kepadaku untuk segera menikah aku anggap seperti angin lewat saja. Aku masih ingin bersenang-senang dengan kebebasan. Aku tak mau diatur istri dan suara rewel anak kecil. Namun, sejak Allah memanggilnya keinginan itu menjadi beban berat yang harus segara aku penuhi. Aku tak mau membuatnya tak tenang, aku ingin membuatnya tersenyum melihatku bisa segera menikah dan memberinya cucu…”
Tak terasa malam sudah larut, sebenarnya mata ini sudah sangat mengantuk. Namun, entah kenapa aku begitu asyik mendengar curahan hatinya? Hingga, tak sadar sudah hampir satu jam lebih kita mengobrol. Mungkin, karena memang sudah tiga tahun belakangan ini kami loss contact karena ia tinggal jauh di luar kota dan suatu kebetulan saat aku sedang berbelanja buku ternyata ia pun melakukan hal yang sama juga. Jadilah, ini menjadi reuni untuk kami.   
***

Nin, maaf sms pagi-pagi gini. Setelah mengobrol semalam. Aku terus berpikir untuk bisa menerima kriteria calon pasanganku apa adanya. Perempuan itu tak perlu cantik fisik asalkan baik agamanya bagiku itu sudah cukup

Sms Alif menyambut pagiku hari ini, baru saja kubuka mata otakku langsung berputar berpikir mencari perempuan seperti yang dia maksud. Saat sedang berpikir, tiba-tiba Kiara adikku mengetuk pintu membangunkan shalat subuh.
“Ka, bangun! Sudah subuh…”
Aku segera beranjak dari tempat tidur dan membuka pintu, agar Kiar berhenti berteriak membangunkanku.
“Iya, cerewet…”
Bibir Kiara menyunggingkan senyum saat melihatku dengan mata sepet dan rambut berantakan masih bisa meledeknya yang sudah rapih dengan mukena putih bersulam bunga warna-warni.
“Aku, tunggu di bawah ya Ka!”
Setelah pulang empat bulan yang lalu dari Bandung, ia menjadi sosok berbeda bagiku. Perubahannya sungguh sangat drastis dengan kerudung yang tak pernah lepas dari kepalanya.  Aku segera berwudhu dan menuju ruang musalah yang di sana Ayah dan Ibu sudah bangun lebih dulu. Suara salawat sambil menunggu adzan subuh menjadi kegiatan rutin keluarga dan Kiara dengan kebiasaan barunya itu mendesakku untuk turut serta walau sempat kesal pada awalnya, tapi lama-kelamaan asik juga karena aku jadi tak pernah telat masuk kantor. Walau aku belum bisa seperti Kiara seutuhnya, tapi aku perlahan mau mencobanya. Hidup kan butuh proses.
“Gimana Nin, apa kamu sudah punya calon?”
Ibu membuka obrolan pagi ini dengan hal yang paling aku tidak suka di meja makan. Dan aku pun segera mengalihkan pembicaraan.
“Ra, kamu jadi mau ke Bandung?”
Kiara senyam-senyum sendiri melihat tingkah serba salahku menanggapi pertanyaan Ibu.
“Jadi Ka, mungkin dua sampai tiga bulan aku di sana”
“Lama banget, ngapain saja?”
“Ya, bantu-bantu di LSM sekalian juga ada urusan untuk daftar kuliah S2…”
“Bagus itu, sebenarnya Kaka juga mau daftar nerusin sekolah. Tapi sudah keenakan kerja jadi males mikirin tugasnya…”
“Mikir tugas apa mikir calon suami?” sindir Ibu
Segera saja aku memasang wajah jutek dan semua yang ada di meja makan terlihat tersenyum meledek.

***

“Nin, ada cowok yang cariin kamu di bawah”
Tari menaikkan bahunya saat aku menanyakan siapa yang datang mencariku di jam makan siang seperti ini. Terlebih banyak kerjaan menumpuk yang harus dikerjakan membuatku dikejar death line dan tanggung jawab yang berat ini harus bisa diselesaikan sebelum atasan menegur.
Untuk mempercepat waktu, aku putuskan turun tangga saja kebetulan gedung perkantoranku hanya bertingkat lima jadi tak terlalu buang energi. Sosok laki-laki berkemeja putih bergaris biru dan dasi biru yang membalut tubuh tinggi tegapnya berdiri di depan meja receptionist. Nampak, seperti eksekutif muda. Tak ada kekurangan jika dilihat sekilas, namun dibalik itu semua ada beban yang belum bisa terselesaikan. Senyum lebar dilemparkannya saat melihatku sedang menuruni tangga.
“Maaf  Nin kalau ganggu…”
“Gak apa-apa. Ada yang bisa dibantu?”
 “Banyak, gak enak kalau ngomong di sini. Kamu sudah makan siang?”
Aku menggeleng dan wajah putih bersihnya itu kembali tersenyum. Segera saja ia mengajakku ke restoran dekat kantor yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Untuk sedikit refresing aku menurut saja. Mumpung gratisan…
Alif memesan ayam bakar dengan orange juice dan kebetulan selera kami sama.
“Gimana, Nin dah ada calonnya?”
“Emm, sebenarnya kriteria cewek yang kamu maksud itu, ada sama teman kantorku”
“Terus?”
“Ya, dia baik, ramah, pinter dan yang paling penting dia berjilbab tapi sayang…”
Belum sempat aku meneruskan pembicaraan, Alif sudah memotong lebih dulu. “Lalu, kenapa dari tadi kamu gak bilang? Kan biar aku langsung bisa ketemuan sama dia…” Raut wajah Alif sangat bersemangat mendengar penuturanku
Aku cuma senyam-senyum sendiri melihat raut bahagia Alif
“Malah ketawa… senang ya? Kalau temannya jadi perjaka tua”
“Bukan gitu Lif, aku kan belum meneruskan omonganku. Kamu maen nyerobot aja”
“Ya, habis kamu terlalu santai. Kita harus bergerak cepat kalau untuk masalah seperti ini”
“Ngomong-ngomong, namanya siapa Nin?”
“Dinda”
“Nama yang manis”
“Apa aku telphon dia aja ya? Ah, kesannya terlalu main-main, aku kan mau serius jadi langsung to the point aja,  face to face…” ucapnya dengan raut wajah penuh kebahagiaan dan semangat  45nya
Aku semakin geli tapi juga kagum melihat tingkah Alif yang semangat menikahnya telah berkobar-kobar laksana prajurit mau siap tempur. Ditambah muka cutenya tiba-tiba menghilang dan berubah jadi muka seorang sales yang merengek agar dagangannya dibeli karena sudah seminggu gak laku-laku
“Alif… Alif, aku kan belum nerusin omonganku. Kamu malah udah nyusun rencana  duluan”
“Kenapa? Bukannya malah bagus…”
“Iya, tapi Dinda temanku itu sudah menikah dan punya anak dua”
Sungguh, aku jadi tak enak hati melihat perubahan drastis wajah Alif, kini berubah lesu tak bergairah. Tatapan matanya terlihat kosong.
“Lif, sabar! Cari jodoh kan gak semudah beli sayuran di pasar. Mesti selektif”
Alif diam tak merespon ucapanku. Matanya menerawang lalu menunduk. Tangannya mengepal keras, guratan urat tangannya terlihat jelas. Apa dia marah? Sungguh aku tak bermaksud bercanda.
“Kamu tahu Nin, aku minta tolong dicarikan perempuan berjilbab untuk jadi istriku. Bukan sama kamu aja. Semua teman kantor, kuliah sudah aku hubungi dan aku mintakan tolong. Tapi, apa hasilnya nihil. Aku sering melakukan perkenalan, temanku bilang ta’aruf. Tapi, mereka kebanyakan menolak dengan alasan karena aku tak pandai dalam masalah agama, shalatku jarang, bahkan doa untuk orang tua saja aku tidak hafal. Justru, aku ingin dibimbing oleh istriku kelak, diajarkan mengaji, shalat…”
 “Selalu seperti itu, aku sengaja berkata jujur dan tidak menyembunyikan kekuranganku itu agar tidak ada penyesalan nantinya. Apa harus aku bohong atas kelemahanku ini?”
“Sungguh Nin, aku ingin bisa menjadi manusia yang lebih baik, memang penyesalan itu datangnya terakhir. Dulu, aku menganggap semua hal yang berbau agama itu kampungan dan norak. Tapi, semenjak Ibu meninggal aku baru sadar kalau ternyata dunia bukan segalanya yang harus dikejar. Aku sering melihat orang meninggal, namun perasaanku dulu biasa saja. Setelah Ibu, orang yang sangat kucintai meninggal perasaan itu berubah 180 derajat aku sangat terpukul. Ia menulis surat untukku, intinya ia ingin aku belajar agama dan menikah khususnya dengan perempuan berjilbab. Terakhir dalam suratnya, ia bilang menungguku di surga, Ibu memang perempuan yang sangat solehah makanya saat ia meninggal banyak sekali air mata dan doa yang mengiringi kepergiannya, saat itu hatiku hancur tak ada yang bisa aku lakukan selain menyesal dan menangis, aku tak bisa berdoa karena terlalu lama bibir ini terkunci. Aku tak bisa ikut menyolatkan karena badan ini telah kaku dan lupa akan semuanya”
Tak terasa air mataku menetes mendengarnya, wajahnya terlihat sangat serius dan lesu. Ia menunduk dan tak menatapku saat bicara hanya menunduk. Ucapannya tadi dari lubuk hati terdalamnya yang akhirnya menjadi ganjalan yang belum ditemukan titik temu.
            “Kenapa, kamu gak coba belajar agama dengan ustad?” usulku pelan
            “Sudah Nin, tapi karena sudah tua gini belajarnya ya seperti menulis di atas air”
            “Aku ingin diajarkan oleh istriku, kan kalau diajari sama orang yang disayangi bisa lebih semangat dan mudah masuknya. Kita bisa belajar sama-sama, indah banget ya Nin? Kalau bisa punya keluarga sakinah?”
            Aku mengaangguk dan tersenyum mendengar pertanyaannya. Mimpinya sama dengan semua orang dan salah satunya aku. Tapi, entah kenapa aku belum berniat menikah banyak hal yang ingin aku lakukan. Walau, kadang aku merasa tersindir.
            “Nin, Kadang, aku merasa pencarian jodoh ini terasa sia-sia dan ingin mengakhirinya saja. Tapi, aku ingin banget bisa memenuhi mimpi Ibu. Aku gak mau lagi membuat ibu kecewa. Ya, kalau jodoh kan gak lari kemana…”   
***
            “Ra, kamu mau gak nikah sama laki-laki yang pengetahuan agamanya lebih sedikit dari kamu  tapi dia mau belajar?”
            Kiara sedang mengetik di depan komputer saat aku masuk ke kamarnya. Lalu, tiduran di atas kasurnya yang sepreinya selalu tertata rapih dan bersih.
            “Siapa?” Kiara berhenti mengetik dan berpaling melihatku
            “Ada deh…”
            “Emm… gak tahu juga. Tapi, kalau bisa yang agamanya lebih bagus dari kita donk jadi dia bisa membimbing kita. Kan gak lucu kalau istri yang membimbing. Masa yang mau jadi imam shalat istrinya?!” Kiara tersenyum. Aku jadi ikutan senyum. Iya juga sih. Masa yang mau jadi  imam shalat istrinya…?!
            “Tapi Ra, laki-laki itu punya semangat belajar yang tinggi lho…”
            “Ya, bagus, dia bisa belajar agama dulu sama ustad. Nah, kalau sudah mantep baru deh nikah”
            “Tapi Ra” aku merubah posisi menjadi duduk bersila di pinggir kasur dan Kiara kembali menghentikan sejenak mengetiknya.
            “Kalau belajar sama istri, perempuan yang disayangi kan biasanya lebih mudah. Jadi, belajarnya pas nikah aja”
            “Itu juga gak salah. Tapi, alangkah lebih baiknya. Laki-laki itu harus lebih memantapkan dasar agamanya dulu supaya dia tahu cara membentuk keluarga sakinah, agar dia tahu tugas dan kewajibannya juga sebagai suami” 
“Masalah itu kan bisa sama-sama dimusyawarahkan kalau sudah nikah”
 “Biasanya, sebelum melangkah lebih jauh kita dan calon pasangan harus menyamakan visi dan prinsip dulu. Biar nanti, ke depannya gak kecewa dan lebih enak menjalaninya”
“Jadi, gitu selama ini alasan para perempuan berjilbab itu menolak lamarannya Cuma karena dia gak kuat pengetahuan agamanya. Padahal, sifat dan tingkah lakuya menurutku jauh lebih baik dari orang-orang yang pengetahuan agamanya lebih banyak dari pada dia. Menurutku itu gak adil, dia sudah berusaha. Tapi, gak bisa juga dia ditolak Cuma karena masalah itu. Kalau setiap perempuan berjilbab mengharapkan calon suami seperti itu kapan dia bisa menyebarkan kebaikan agamanya pada orang di luar dirinya. Seharusnya, dia bisa mengajak orang yang belum baik secara agamanya menjadi lebih baik dan mau menerima apa adanya. Kan sudah ada niat yang baik, tapi kenapa niat itu dipandang sebelah mata” aku sungguh berapi-api mengutarakan pendapat hingga Kiara menatap serius dan tak berbicara mengomentari.
“Laki-laki yang kaka maksud itu siapa?”
Aku diam saja tak menjawab pertanyaan Kiara. Aku masih kesal, kenapa kebanyakan muslimah berpikir seperti itu. Sempit sekali pemikirannya. Batinku kesal.
“Ka…” Kiara memegang tanganku dan duduk di sebelah
“Pendapat Kaka benar, gak ada yang salah. Kita gak berhak mengatakan orang itu salah dengan pemikirannya karena memang itu haknya. Jika, itu pilihan dan keputusannya kita mau apa dengan prinsip orang itu. Toh, hidup itu pilihan kan? Dan teman kaka maupun perempuan berjilbab itu juga gak ada yang salah. Namun, menjadi salah jika pernikahan yang sejatinya adalah untuk menyempurnakan agama kita dan ibadah itu dikotori dengan tidak adanya rasa keikhlasan dalam diri orang yang menjalani”.
***
Pagi-pagi hpku sudah berdering. Saat keluar dari kamar mandi mengambil wudhu untuk shalat subuh. Ada nomor pribadi yang terpampang dilayar hp.
“Assalamualaikum…” suara laki-laki yang terdengar asing di telingaku
“Walaikumsalam… siapa ya?” tanyaku penasaran
“Saya Andi, Nin”
“Andi?”
“Teman waktu di SMA dulu” logat bicaranya terdengar kental sekali dialek Jawanya
“Oh, Andi…”
Aku baru ingat, kalau aku punya teman Andi. Waktu itu, dia  ketahuan pakai jimat yang dikalungkan di lehernya saat ujian EBTA. Katanya, itu dari Mbahnya di kampung yang masih sangat kental budaya kejawennya.
“Nin, semalam aku mimpi dipatuk ular. Kata Mbahku itu berarti pertanda mau nikah. Semalamnya aku habis lihat-lihat album SMA. Terus kenapa tiba-tiba, pikiranku terpusat sama photo kamu ya? Aku juga gak tahu. Apa ini bisa diartikan kalau kita ini berjodoh ya Nin???”
Tiba-tiba, aku terasa tersengat listrik lima watt…     

*
Mei 16th 08

Tidak ada komentar: