Apa kau
penyuka puisi?
Pecinta runutan
kata yang mengurai makna. Pengagum karya sastra yang melipur lara lalu melebur
menjadi tawa sampai terasa ke jiwa.
Apa kau
tahu setiap kata dalam puisi adalah hidup?
Tak berkaki
tapi nyatanya mampu berjalan. Tak bermulut tapi faktanya mampu berbicara. Tak bermata
tapi dia tajam melihat sampai ke dasarnya. Tak punya hati tapi anehnya bisa
terasa sampai ke sanubari.
Lalu, bagaimana puisi bisa hidup? Dia bukan raga bernyawa pun tak ada.
Siapa yang
membuatnya hidup? Sampai bisa membuat ujung kelopak mata menetes air bening
karena terharu. Membuat sadar diri karena alam pikir menjadi terbuka lebar.
Para penyair-penyair
hebat itu memiliki insting luar biasa. Feelingnya akan suatu peristiwa dalam
sekali. Bahkan sampai kerak dia tahu. Melihatnya pun tak satu kaca mata, ada
banyak kacamata yang dipakainya.
Sampailah lalu lahirlah puluhan, ratusan,
ribuan kata dari hasil pikirnya. Satu judul, dua judul sampai kemudian ribuan
judul menetas menjadi karya besarnya.
Indah nian
puisi-puisi mereka penyair hebat yang ternyata hidupnya pernah sengsara. Menderita
pun tak lagi asing, dihina juga sering. Bahkan dari mereka pernah hidup di penjara
sampai tenggorokan kering karena hanya makan nasi aking.
Puisi mewakili
apa yang dirasa hati. Puisi adalah intuisi jiwa yang tengah haus akan kebenaran,
puisi juga karya sastra yang tak kuasa
untuk basa-basi, apalagi sampai menjilati, puisi adalah kejujuran diri dari
hati yang terilhami. Puisi ada karena keterpanggilan hati yang tengah dikucuri sebuah
rasa bernama peduli, yang tak bisa terus diam dan harus segera dibenahi.
Namun jikalau
ternyata lahir puisi pesanan dari mereka yang ingin menjatuhi, atau sekedar cari
sensasi maka sebenarnya itu bukanlah puisi tapi hanya kumpulan kata-kata busuk
penuh konspirasi.
Bagaimana puisi?